KAJIAN TENTANG PROFESIONALISME GURU
A.
Profesionalisme
Guru
1.
Pengertian
Profesionalisme
Dalam mengartikan kata profesionalisme penulis
hanya akan mengutip tiga (3) pendapat saja, yaitu yang pertama menurut Muzayyin
Arifin. Istilah profesionalisme berasal dari kata profession, yang
mengandung arti sama dengan occuption atau pekerjaan yang memerlukan
keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan yang khusus. Sedangkan
beliau mengartikan Profesionalisme sebagai suatu pandangan bahwa suatu keahlian
tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu pula yang mana keahlian itu hanya
diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.[10]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
Profesionalisme berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri
dari satu profesi atau orang yang professional.[11]
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir profesionalisme berarti paham yang mengajarkan
bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang professional.[12]
Dari tiga (3) pendapat di atas, dapat dipahami
bahwa profesionalisme merupakan sifat atau karakter yang harus dimiliki
seseorang yang professional. Sedangkan istilah professional itu mengandung
pengertian yang bersangkutan dengan profesi memerlukan keahlian khusus untuk
menjalankannya.
Untuk itu, suatu pekerjaan yang bersifat
professional menuntut adanya keahlian tertentu yang didasari dengan beberapa
bidang ilmu yang relevan dengan pekerjaan itu, dan kemudian diaplikasikan dalam
pelaksanaan tugas di lapangan. Sudah barang tentu pekerjaan yang professional
memerlukan beberapa syarat dan ciri tertentu yang dapat membedakannya dengan
jenis pekerjaan yang lainnya.
2.
Pengertian
Guru
Dalam mendefinisikan guru banyak sekali
pendapat para pakar maupun pemikir pendidikan. Salah satunya dikemukakan oleh
Athiyah Al-Abrosyi yang mengatakan sebagai berikut:
"Guru
adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang anak didik tugasnya
adalah memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak, dan
membenarkannya. Maka menghormati guru berarti menghormati anak-anak Kita,
dengan itulah mereka hidup dan sekira setiap guru itu menunaikan tugasnya
dengan sebaik-baiknya.[13]
Dari pengertian di atas dapat dimengerti
bahwa guru adalah tokoh moral spiritual bagi anak didik, pekerjaannya adalah
memberikan santapan jiwa berupa ilmu, budi pekerti dan norma kesusilaan yang
nantinya bermanfaat bagi anak didik tersebut.
Lebih lanjut dinyatakan dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa "Tenaga Kependidikan adalah
anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
pendidikan".[14]
Seseorang yang telah memutuskan untuk
menggeluti profesi guru berarti secara tidak langsung ia telah merelakan
dirinya menerima serta memikul tanggung jawab pendidikan yang telah dilimpahkan
oleh orang tua anak didik kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tidak
mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang orang karena tidak semua orang
dapat menjadi guru. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pendidikan yang
diberikan kepada anak meliputi pendidikan yang multidimensional menuju
terbentuknya insan kamil.
Pemikiran tersebut di atas, kiranya bisa
dimaklumi mengingat tuntutan zaman yang sarat dengan kemajuan dan inovasi-inovasi
baru sehingga diprioritaskan bukan hanya kemajuan orang per orang, tetapi juga
kemajuan pendidikan di Indonesia.
Kemajuan dalam pendidikan yang demikian
akan sangat bergantung pada berhasil tidaknya usaha pendidikan dalam
mempersiapkan generasi muda bangsa yang saat ini tengah menekuni pendidikannya
masing-masing. Gurulah merupakan faktor yang penting dalam hal ini.
Jadi jelaslah bahwa guru itu adalah orang
yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, baik itu berupa
perkembangan jiwa, ataupun perkembangan mental anak didik.
3.
Syarat
dan Kompetensi Guru Profesional
Seperti halnya profesi yang lain, guru
juga memiliki tugas-tugas tersendiri yang secara spesifik berbeda dengan
profesi yang lainnya. Menurut Moh Uzer Usman, beliau mengatakan bahwa pada
dasarnya tugas pokok dari seorang guru, baik itu yang terkait dinas ataupun di luar
dinas menyangkut tiga (3) jenis, yaitu tugas dalam bidang profesi, tugas dalam
bidang kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.[15]
Mengenai tugas-tugas ini nanti akan dibahas dalam pembahasan yang khusus.
Dalam rangka memenuhi tugas-tugas
tersebut, seorang guru perlu dibekali beberapa persyaratan, baik yang sifatnya
akademis maupun non akademis. Menyangkut hal ini, banyak pendapat yang
dikemukakan oleh pakar dan ahli pendidikan, yang intinya mengarah pada
terealisasinya sosok guru yang ideal dan mempunyai tingkat profesionalisme yang
tinggi.
Uzer Usman yang mengutip Moh Ali, mengatakan
beberapa persyaratan yang dituntut harus dipunyai oleh seorang guru diantaranya
adalah:
a.
Menuntut
keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
b.
Menekankan
pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
c.
Menuntut
adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai
d.
Adanya
kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya.
e.
Memungkinkan
perkembangan yang sejalan dengan dinamika kehidupan.[16]
Dari uraian tersebut di atas, menunjukkan
bahwa guru sebagai suatu profesi harus memenuhi kriteria persyaratan yang
menyangkut adanya kemampuan akademis, baik secara teoritis maupun
pengaplikasian dari teori itu sendiri, serta kemampuan bersosialisasi dengan
masyarakat sesuai dengan statusnya.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No 2 tahun 2003 ditegaskan bahwa untuk menjadi seorang pendidik
diperlukan syarat sebagai berikut:
1.
Tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan
2.
Pendidik
adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, pamong
pelajar, widya suara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang
dengan kekhususannya berpartisipasi dalam pendidikan.[17]
Dari konsep di atas, dapat dipahami bahwa
untuk menjadi seorang guru, tidak hanya dituntut persyaratan secara formal,
akan tetapi pula harus memiliki landasan moral, baik kepada Tuhan YME, maupun kepada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Hal ini
bisa di mengerti bahwa tugas seorang guru tidak hanya menyangkut orang per
orang, serta tanggung jawab yang diemban harus dipertanggung jawabkan di
hadapan Tuhan YME.
Bila ditelaah kembali kedudukan seorang guru sebagai pengemban
tangung jawab pendidikan anak dalam arti yang lebih khusus, dapat dikatakan
bahwa setiap pribadi atau individu terletak tanggung jawab untuk
membawa anak didik pada status kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam
rangka mencapai hal tersebut guru tidak semata-mata sebagai pengajar yang transfer
of knowledge (pemindahan ilmu pengetahuan) ilmu
tetapi juga sebagai pendidik yang transfer of values (pemindahan
nilai-nilai) dan sekaligus sebagai pembimbing anak didik dalam belajar.
Dari sini dapat ditangkap betapa kompleksnya
tugas seorang guru, sehingga tentu diperlukan persiapan ekstra untuk dapat
memenuhi tugas tersebut. Ketiga tugas dan tanggung jawab di atas, yakni guru
sebagai pengajar, pendidik, dan juga pembimbing menuntut adanya persiapan
setiap individu secara maksimal dalam berbagai aspek, karena akan dihadapkan
dengan permasalahan di lapangan pendidikan yang cukup komplek pula.
Ngalim Purwanto menyebutkan syarat-syarat
guru yang baik di antaranya sebagai berikut:
1.
Berijazah
2.
Sehat jasmani
dan rohani
3.
Takwa kepada
Tuhan YME dan berkelakukan baik
4.
Bertanggung
jawab
5.
Berjiwa
Nasional[18]
Dari pendapat Ngalim Purwanto ini, dapat dimengerti
bahwa persyaratan seorang guru adalah ijazah. Sudah barang tentu ijazah di sini
adalah ijazah yang dapat memberi wewenang untuk menjalankan tugas sebagai guru
di suatu sekolah.
Ijazah bukan semata-mata sehelai kertas
saja ijazah adalah surat
bukti yang menunjukkan bahwa seseorang telah mempunyai ilmu pengetahuan dan
kesanggupan-kesanggupan tertentu, yang diperlukannya untuk suatu jabatan atau
pekerjaan. Tapi kemudian muncul pertanyaan, dapatkah dipastikan bahwa orang
yang berijazah itu bisa menjalankan tugasnya dengan baik? Jawabannya tentu saja
belum, tiap-tiap orang membutuhkan pengalaman-pengalaman dalam pekerjaannya
untuk memperbaiki dan mempertinggi hasil pekerjaannya. Juga diketahui bahwa,
tiap-tiap orang beda tempramen, watak, dan kepribadiannya. Hal ini menyebabkan
hasil dan kemajuan seseorang tidak sama pula. Ijazah yang sama tidak berarti
bahwa, cara dan hasil cara dan pekerjaan dari orang-orang sama pula.
Kalaupun demikian, untuk menjadi seorang
pendidik haruslah memiliki ijazah yang diperlukan. Itulah bukti bahwa yang
bersangkutan telah mempunyai wewenang atau telah dipercaya oleh negara dan
masyarakat untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang guru.
Sedangkan menurut Seojono yang dikutip
oleh Ahmad Tafsir menyatakan bahwa persyaratan seorang guru meliputi umur, ia
harus sudah dewasa, kesehatan ia harus sehat jasmani dan rohani, kemampuan ia
ahli serta harus berkesusilaan berdedikasi tinggi.[19]
1.
Guru harus
dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat
penting karena menyangkut perkembangan seseorang, menyangkut nasib seseorang.
Oleh karena itu, tugas tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab. Hal
itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa, anak kecil tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban. Di Indonesia, seseorang dianggap dewasa sejak ia
berumur 18 tahun atau sudah pernah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah umur
21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Bagi pendidik asli, dalam
hal ini orang tua tidak dibatasi umur minimal, bila mereka telah mempunyai
anak, maka mereka boleh mendidik anaknya. Dilihat dari segi ini, maka
sebaliknya umur kawin ialah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi
perempuan.
2.
Guru harus
sehat jasmani dan rohani
Ada pepatah mengatakan dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat
pula. Jadi jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan
bahkan membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular, sebab guru
adalah pengganti dari orang tua. Dari segi rohani, orang gila berbahaya juga
bila ia mendidik, orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tidak akan bertanggung
jawab.
3.
Guru harus
ahli
Ini penting sekali bagi seorang pendidik, termasuk
guru, orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu
pendidikan. Dengan pengetahuannya diharapkan ia akan lebih berkemampuan
menyelenggarakan pendidikan anak-anaknya di rumah. Sering kali terjadi kelainan
pada anak didik disebabkan oleh kesalahan pendidikan dalam rumah tangga.
4.
Guru harus
berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting untuk melaksanakan
tugas mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh
kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya? Dedikasi tinggi tidak hanya
diperlukan dalam mendidik selain mengajar, dedikasi tinggi diperlukan juga
dalam meningkatkan mutu mengajar.
Secara operasional, syarat umur dapat
dibuktikan dengan memperlihatkan akte kelahiran atau tanda pengenal sah
lainnya, syarat kesehatan dibuktikan dengan memperlihatkan keterangan dokter,
syarat keahlian dapat dilihat pada ijazah atau keterangan lainnya yang sah dan
syarat agama secara sederhana dapat dibuktikan dengan memperlihatkan kartu
penduduk atau surat keterangan lainnya yang sah. Mengenai syarat dedikasi yang
disebut oleh Seojono agaknya agak sulit untuk dibuktikan.
Amin Indrakusuma membagi persyaratan menjadi
seorang guru yang baik itu ke dalam tiga golongan, yaitu persyaratan jasmaniah
dan kesehatan, persyaratan pengetahuan pendidikan, persyaratan kepribadian.[20]
1.
Persyaratan
Jasmaniah dan Kesehatan
Guru adalah petugas lapangan dalam
pendidikan. Gurulah yang setiap hari bergaul secara langsung dengan anak didik,
yang merupakan obyek pokok dalam pendidikan.
Di samping itu, Guru juga merupakan
seorang pemimpin. Guru adalah pemimpin dari anak didik yang ada di bawah
asuhannya. Sebagai seorang pemimpin, wajarlah kalau ia menjadi kebanggaan dari anak
didiknya, selalu dipuja dan dipuji oleh anak didiknya, dan sekaligus merupakan
tempat kepercayaan anak didiknya. Sampai-sampai, bagi anak didik yang masih
begitu muda, apa yang dikatakan oleh gurunya, apa yang diajarkan oleh gurunya,
dianggapnya semua benar belaka. Pada pandangan anak yang masih kecil itu, guru
selalu benar. Guru tidak mungkin berbuat salah. Oleh karena itu, apabila ada
yang menyalahkan gurunya, maka ditentangnya dengan keras, dibelanya gurunya,
dan dikatakan demikian menurut bapak atau ibu guru. Hal yang demikian
kadang-kadang masih terdapat juga pada anak didik yang lebih tua.
Tetapi, bagaimanapun juga umumnya guru
selalu menjadi ideal bagi anak didiknya. Guru selalu menjadi pujaan bagi anak
didiknya. Guru adalah suatu model bagi anak didiknya. Oleh karena itu,
persyaratan jasmaniah seorang guru yang pertama-tama harus dipenuhi adalah
bahwa seorang guru tidak boleh mempunyai cacat tubuh yang nyata. Misalnya saja,
mata juling atau kero (Jawa), mulut sumbing, jalannya pengkor, dan
sebagainya. Hal ini semua, di samping memang bisa mengganggu guru dalam
menunaikan tugasnya, akan mengurangi atau mungkin menghilangkan kebanggaan anak
didik kepada gurunya, dan bahkan dapat mendatangkan kekecewaan terhadap keadaan
fisiknya guru ini, sangat berpengaruh pada suasana pembelajaran dan pendidikan,
dan dengan sendirinya berpengaruh kepada hasil pendidikan.
2.
Persyaratan
Pengetahuan Pendidikan
Banyak orang yang berpendapat, bahwa
menjadi seorang guru cukup mudah. Orang mengira, bahwa asal sudah mempunyai
cukup pengetahuan tentang pelajaran yang akan diberikan, maka orang itu akan
dapat mengajarkan pelajaran tersebut. Dengan demikian setiap orang yang pandai,
akan dapat mengajar.
Adapun pengetahuan yang penting guna
pembentukan profesi guru diantaranya ialah:
1.
Pengetahuan
tentang pendidikan yang meliputi: ilmu pendidikan teoritis dan ilmu sejarah
pendidikan.
2.
Pengetahuan
Psikologi yang meliputi: Psikologi umum, Psikologi anak, Psikologi pendidikan.
3.
Pengetahuan
tentang kurikulum
4.
Pengetahuan
tentang metode mengajar.
5.
Pengetahuan
tentang dasar dan tujuan pendidikan.
6.
Pengetahuan
tentang moral, nilai-nilai dan norma-norma.
3.
Persyaratan
Kepribadian
Sebenarnya kepribadian mempunyai arti yang
sangat luas. Kepribadian adalah keseluruhan dari ciri-ciri dan tingkah laku
seseorang. Sehingga kepribadian meliputi juga kecerdasan, kecakapan,
pengetahuan, sikap, minat, tabiat, kelakuan dan sebagainya. Tentang pengertian
kepribadian di sini lebih ditekankan kepada kelakuan, tabiat, sikap dan minat.
Kelakuan dan tabiat adalah sesuatu yang berhubungan dengan moral.
Berbicara tentang moral, maka hanya ada dua
macam moral, yaitu moral yang baik dan moral yang tidak baik atau moral yang
rendah. Moral yang luhur dan moral yang hina. Moral yang terpuji dan moral
terkutuk atau tercela.
Kepada seorang guru, disyaratkan untuk memiliki
moral yang baik, moral yang tinggi, moral yang luhur, moral yang terpuji. Seorang
guru bukanlah hanya seorang penyampai berita, bukan hanya sekedar perantara, bukan
hanya sekedar pengoper nilai-nilai dan norma-norma, melainkan seorang guru
adalah pendukung norma. Ia tidak bisa hanya menunjuk atau mengambil nilai-nilai
atau norma-norma itu untuk kemudian diberikan kepada anak, tetapi nilai-nilai
dan norma-norma itu sebelum diberikan pada anak, harus lebih dulu telah menjadi
miliknya. Norma-norma dan nilai-nilai itu harus meresap di dalam hati
sanubarinya dan telah merupakan sebagian isi dari kepribadiannya. Dengan kata
lain, seorang guru harus mempunyai moral yang luhur, sehingga dalam gerak dan
tingkah lakunya selalu dapat menjadi tauladan bagi anak didik. Seorang guru
harus benar-benar digugu dan ditiru. Artinya segala tutur katanya, segala
anjurannya, segala nasehat-nasehatnya benar-benar dapat dipercaya, harus
benar-benar dapat dipergunakan sebagai pegangan, sebagai pedoman, dan segala
gerak-geriknya, segala tingkah lakunya, segala perbuatannya harus benar-benar
menjadi contoh. Bagaimanapun juga, kalau seorang hanya dapat mengatakan, tetapi
ia sendiri tidak mampu melaksanakan, sebenarnya disangsikan, apabila yang dikatakannya
itu dapat diterima (dalam arti dipercaya dan dipatuhi) oleh orang lain, malahan
sering pula menjadi bahan ejekan.
Setelah dijelaskan perihal syarat-syarat
menjadi seorang guru yang professional, berikut ini akan dipaparkan beberapa
pendapat mengenai kompetensi guru.
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris,
yaitu "competence", yang berarti kecakapan, kemampuan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan
(memutuskan) sesuatu.[21]
Sedangkan menurut Moh Uzer Usman kompetensi guru merupakan kemampuan seorang
guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.[22]
Guru sebagai tenaga professional dalam
bidang kependidikan, selain harus memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan
konseptual, ia juga harus dapat memahami dan melaksanakan hal-hal yang bersifat
teknis. Di dalam proses interaksi pembelajaran, guru minimal harus memiliki dua
modal dasar, yakni kemampuan mendesain program dan keterampilan
mengkomunikasikannya kepada anak didik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaiful Bahri
Djamarah bahwa kompetensi guru itu antara lain meliputi; kepribadian,
penguasaan bahan, kesadaran waktu, penguasaan metode, media.[23]
1.
Kepribadian
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu
yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam makna yang demikian, maka
seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan gambaran dari kepribadian orang
itu. Oleh karena itu, bila seseorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang
baik sering dikatakan bahwa seseorang itu memiliki kepribadian yang baik atau
berakhlak mulia. Sebaliknya, bila seseorang melakukan sikap dan perbuatan yang
tidak baik menurut pandangan masyarakat, maka dikatakan seseorang itu tidak memiliki
kepribadian yang baik atau memiliki akhlak yang jelek.
Kepribadian juga adalah unsur yang cukup
menentukan keakraban hubungan guru dengan anak didik. Kepribadian guru akan
tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik.
Guru yang dapat mengerti kesulitan anak didiknya dalam hal belajar dan
kesulitan lainnya di luar masalah belajar dan bisa menghambat belajar anak
didiknya.
Pada dasarnya kepribadian merupakan hal
yang penting dalam pendidikan dan pengajaran, tidak saja selama mengajar dan
bergaul dengan anak didik, bahkan di luar sekolah pun kepribadian guru
merupakan suatu hal yang penting. Sebab guru tidak saja digugu dan ditiru oleh
anak didik selama di sekolah, tetapi di masyarakat pun digugu dan ditiru.
2.
Penguasaan
bahan
Dalam unsur pendidikan, guru dan anak
didik adalah dua orang yang termasuk dalam unsur-unsur pendidikan selain
unsur-unsur yang lainnya seperti alat, tujuan dan lingkungan. Bahkan unsur guru
dan anak didik inilah yang sangat berperan dalam proses interaksi pembelajaran.
Sebab inti kegiatan pendidikan adalah proses interaksi pembelajaran, sedangkan
unsur-unsur yang lainnya sebagai pendukung dari prose situ. Ini berarti
pendidikan dan pengajaran tidak terlihat di dalamnya.
Dalam proses pembelajaran, guru adalah
orang yang memberikan ilmu dan keterampilan pada anak didik. Sedangkan anak
didik adalah subyek yang menerima pelajaran atau ilmu pengetahuan dari guru.
Ilmu pengetahuan adalah alat yang sangat penting dalam proses itu. Tanpa ilmu
pengetahuan prose situ tidak akan berlangsung, sebab ilmu pengetahuan adalah
subtansi proses pembelajaran. Dengan demikian, ilmu pengetahuan berfungsi untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari, bahwa
ilmu pengetahuan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran bahkan
untuk mencapai tujuan jangka panjang, yakni tujuan pendidikan nasional. Bahkan lebih jauh lagi, guru yang tidak
menguasai bahan pelajaran akan menemui kesulitan mengelola interaksi
pembelajaran.
Proses pembelajaran akan kaku jika wawasan
keilmuan guru tidak didukung oleh pengetahuan lainnya, yang relevan dengan
bidang studi yang di pegang guru. Anak didik cepat jenuh sebelum pelajaran
berakhir. Akibatnya, jalan pembelajaran akan jadi kurang menarik perhatian
anak-anak didik dan kesannya pun sebagian besar tidak tersimpan dalam otaknya.
Hal ini pertanda bahwa guru kurang mampu menciptakan proses pembelajaran yang
kondusif. Kondisi pembelajaran seperti ini akan merugikan anak didik, tidak
saja dari segi materi, usia dan waktu, tetapi juga dari segi kemajuan belajar
anak didik jadi lamban, yang mempengaruhi prestasi belajarnya.
3.
Kesadaran
Waktu
Jika kompetensi ini dimiliki oleh setiap
guru dalam interaksinya dengan anak didiknya, dalam rapat sekolah, dalam
pertunjukan kesenian sekolah, pertandingan, dalam bimbingan dan penyuluhan dan
sebagainya maka wibawa guru akan terpelihara, bahkan meningkat, dan akan
terjamin pula keberhasilan yang diharapkan.
Dalam pendidikan dan pembelajaran, waktu
merupakan aspek yang selalu mendapatkan perhatian dari setiap pengelola
pendidikan dan pembelajaran. Waktulah yang membatasi setiap ruang gerak dari
proses interaksi pembelajaran. Proses itu akan berakhir sesuai waktu yang telah
dijadwalkan setiap bidang studi, begitu juga pada awal akan memulai pelajaran,
guru akan memasuki ruang kelas bila jadwal mengajar untuknya telah sampai.
Seorang guru yang menyadari pentingnya
waktu, dia tidak membiarkan waktu berlalu tanpa makna, tetapi memanfaatkannya
secara efektif dan efisien. Dalam proses interaksi pembelajaran, pemanfaatan
waktu secara efektif dan efisien merupakan harapan semua guru, namun untuk
menciptakan suasana yang demikian tidak semudah yang dibayangkan, karena faktor
lain tidak bisa diabaikan dan perlu diperhatikan dalam penyusunan strategi
pembelajaran.
Sebaliknya, guru yang kurang menghargai
waktu merupakan tindakan yang kurang bijaksana, karena sikap seperti itu akan
merugikan anak didik. Guru yang sering terlambat memasuki kelas, sementara
semua anak didik telah memasuki kelas, akan mengecewakan anak didik dalam
penantian. Selain dapat menimbulkan kegaduhan dalam kelas, kelelahan pun dirasakan
anak didik. Pada sisi lain sikap guru yang demikian akan mengurangi kewibawaan
guru. Oleh karena itu, waktu merupakan aspek yang lain yang ikut mempengaruhi
prestasi anak didik selain kompetensi guru lainnya, seperti kewibawaan dan
penguasaan bahan.
4.
Penguasaan
metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan
untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran,
metode yang digunakan seorang guru hendaknya bervariasi sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai setelah pembelajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat
melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun metode mengajar yang
telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli pendidikan.
Dalam proses pembelajaran, guru tidak
hanya terpaku menggunakan satu metode, tetapi harus menggunakan metode yang
bervariasi agar jalan pembelajaran tidak membosankan, tetapi menarik perhatian
anak didik. Meski penggunaan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan
proses pembelajaran bila penggunaan metode itu tidak tepat dengan situasi yang
mendukungnya. Di sinilah kompetensi guru diperlukan dalam pemilihan metode yang
tepat. Oleh karena itu, pemilihan metode yang bervaraisi tidak selamanya
menguntungkan bila guru mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaannya.
Winarno Surakhmad yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah mengemukakan lima macam faktor yang
mempengaruhi penggunaan metode mengajar sebagai berikut:
1.
Tujuan yang
berbagai-bagai jenis dan fungsinya.
2.
Anak didik
yang berbagai-bagai tingkat kemampuannya
3.
Situasi
yang berbagai-bagai keadaannya
4.
Fasilitas
yang berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya
5.
Pribadi
guru serta kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda.[24]
Kompetensi-kompetensi di atas intinya
terangkum dalam tiga hal sebagaimana dikemukakan Nana Sudjana, antara lain
meliputi kompetensi bidang kognitif, afektif, serta prilaku atau performance,
yang selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Kompetensi
bidang kognitif
Artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran,
pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah
laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang
administrasi kelas, pengetahuan tentang cara belajar anak didik, pengetahuan
tentang bidang kemasyarakatan, serta pengetahuan lainnya.
b.
Kompetensi
bidang sikap (afektif)
Artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang
berkenaan dengan tugas profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaannya,
mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya,
sikap toleransi terhadap sesama teman seprofesinya, memiliki kemauan yang keras
untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
c.
Kompetensi
bidang Prilaku atau performance
Artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan /prilaku, seperti
keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat Bantu pelajaran,
bergaul atau berkomunikasi dengan anak didik, keterampilan menumbuhkan semangat
belajar pada anak didik, keterampilan menyusun persiapan mengajar keterampilan
melaksanakan administrasi kelas dan lain-lain. Perbedaannya dengan kompetensi
kognitif terletak pada sifatnya kalau kompetensi kognitif berkenaan dengan aspek
teori atau pengetahuannya, sedangkan pada kompetensi prilaku yang diutamakan
adalah praktek/keterampilan melaksanakannya.[25]
4.
Ciri-Ciri
Guru Profesional
Mengajar adalah suatu usaha yang komplek,
sehingga sukar menentukan bagaimana sebenarnya mengajar yang baik. Ada guru yang mengajar
baik pada Taman Kanak-kanak akan tetapi
menemui kegagalan di kelas-kelas tinggi, dan sebaliknya ada guru besar yang
pandai mengajar kepada mahasiswa yang sudah mahir
akan tetapi tidak sanggup menghadapi anak didik di kelas rendah.
Ada baiknya jika mengetahui ciri-ciri guru yang baik (professional). Menurut
Nasution ada beberapa ciri guru professional, di antaranya adalah:
1.
Memahami
dan menghormati anak didik
2.
Menghormati
bahan pelajaran
3.
Menyesuaikan
metode mengajar dengan bahan pelajaran
4.
menyesuaikan
bahan pelajaran dengan kemampuan individu anak didik
5.
Mengaktifkan
anak didik dalam hal belajar.
Hal
lain yang juga menjadi ciri dari seorang guru yang professional adalah:
1.
Seorang
guru mampu merumuskan tujuan dari setiap pelajaran yang di berikan.
2.
Guru harus
menguasai bahan pelajaran.
3.
Guru harus
mencintai apa yang diajarkan dan berpendirian bahwa mengajar adalah suatu
profesi yang diharapkan dan mantap.
4.
Mengerti
pada anak tentang pengalaman pribadinya
5.
Menggunakan
variasi-variasi dalam mengajar.
6.
Membimbing
kepada apa yang aktual dan harus disiapkan sebaik-baiknya.
7.
Murah pujian dan berani
8.
Dapat
menimbulkan semangat belajar secara individual.[26]
Menurut Zakiyah Daradjat, beliau
mengatakan bahwa seorang guru bisa dikatakan professional dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
a.
Lebih
mementingkan layanan dari pada kepentingan pribadi
b.
Mempunyai
status yang tinggi.
c.
Memiliki
pengetahuan yang khusus.
d.
Memiliki
kegiatan intelektual.
e.
Memiliki
hak untuk memperoleh standar kualifikasi profesi.
f.
Memiliki
etika profesi yang ditentukan oleh organisasi profesi.[27]
Bentuk guru yang ideal dengan ciri
kreatif, intelektualnya tinggi, standar kualifikasi profesinya bisa
dipertanggung jawabkan akan menciptakan interaksi edukatif aktif dengan anak
didik, sehingga bisa menemukan kebutuhan belajar anak didik sesuai dengan
bakat, minat serta kemampuan dasar yang dimilikinya, tanpa adanya paksaan dari
luar.
Apabila seorang guru mampu menjalankan roda
tugas secara professional seperti tersebut di atas, maka akan mampu pula
membawa anak didik untuk berpikir tentang kebutuhan hari ini dan esok.
Kemampuan membawa anak didik inilah yang perlu dikembangkan untuk mengantarkan anak
didik mengaktualisasikan dirinya secara maksimal bagi dirinya, masyarakat serta
negaranya.
5.
Tugas
Dan Tanggung Jawab Guru Profesional
Dalam proses pembelajaran terdapat tiga
komponen yang saling berkaitan erat. Ketiga komponen itu adalah guru, isi atau
materi pelajaran, dan anak didik. Guru sebagai salah satu komponen pembelajaran
tentunya mempunyai tugas-tugas yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
Menurut Moh. Ali, guru mempunyai tiga tugas utama, yakni merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan memberikan balikan.[28]
1. Merencanakan pembelajaran
Perencanaan yang dibuat, merupakan
antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam proses
pembelajaran sehingga terjadi suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses
belajar yang dapat mengantarkan anak didik mencapai tujuan yang diharapkan
perencanaan itu meliputi:
1.
Tujuan apa
yang hendak dicapai, yaitu bentuk tingkah laku apa yang diinginkan dapat
dicapai atau dapat dimiliki oleh anak didik setelah terjadinya proses
pembelajaran
2.
Bahan
pelajaran yang dapat mengantarkan anak didik mencapai tujuan
3.
Bagaimana
proses pembelajaran yang akan diciptakan oleh guru agar mencapai tujuan secara
efektif dan efisien.
4.
bagaimana
menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui atau mengukur tujuan itu
tercapai atau tidak.
2. Melaksanakan pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran selayaknya
berpegang pada apa yang tertuang dalam perencanaan. Namun, situasi yang
dihadapi guru dalam melaksanakan pembelajaran mempunyai pengaruh besar terhadap
proses pembelajaran itu sendiri. Oleh sebab itu, guru sepatutnya peka terhadap
berbagai situasi yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya
dalam mengajar dengan situasi yang dihadapi. Situasi pembelajaran itu sendiri
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain guru, anak didik, kurikulum,
lingkungan.
3. Memberikan balikan
Balikan mempunyai fungsi untuk membantu anak
didik memelihara minat dan antusias anak didik dalam melaksanakan tugas
belajar. Upaya memberikan balikan harus dilakukan secara terus menerus. Dengan
demikian, minat dan antusias anak didik dalam belajar selalu terpelihara. Upaya
itu dapat dilakukan dengan jalan melakukan evaluasi. Hasil evaluasi itu sendiri
harus diberitahukan kepada anak didik yang bersangkutan, sehingga mereka dapat
mengetahui letak keberhasilan dan kegagalannya. Evaluasi yang demikian
benar-benar berfungsi sebagai balikan, baik bagi guru maupun bagi anak didik.
Menurut Abu Ahmadi, tugas guru dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.
Disamping
mengajar sekaligus mendidik. Guru yang baik selalu berusaha menggunakan setiap
kesempatan untuk mempengaruhi anak didiknya.
2.
Untuk
melaksanakan tugas di atas, guru harus membuat persiapan lebih dahulu sebelum
berhadapan dengan anak didik di kelas. Di sini ada tiga macam persiapan yang
harus dipenuhi yaitu persiapan batin, persiapan materil, persiapan tertulis
secara sistematis.[29]
Sedangkan menurut Nana Sudjana yang
mengutip pendapat dari Peters mengemukakan tiga tugas yang harus dipenuhi oleh
guru. Tiga tugas tersebut adalah:
1.
Guru
sebagai pengajar.
2.
Guru
sebagai pembimbing.
3.
Guru
sebagai administrator kelas.[30]
B.
Problematika
Guru Dalam Meningkatkan Profesionalisme
1.
Permasalahan
dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru
Tinggi rendahnya pengakuan profesi guru,
salah satunya diukur dari tingkat pendidikan yang ditempuhnya dalam
mempersiapkan jabatannya. Sungguhpun demikian, masih harus dipertanyakan dan dibuktikan
bahwa guru yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, lebih tinggi kemampuannya
jika di bandingkan dengan guru yang berpendidikan lebih rendah. Dewasa ini
pendidikan guru di Indonesia diupayakan terpadu sifatnya. Hal ini terlihat
dengan adanya alih fungsi SPG dan SGO ke program LPTK dan D2 pada UT untuk
mempersiapkan guru sekolah dasar dan FKIP-IKIP untuk mempersiapkan calon guru
SMTP-SMTA
Suatu jenis pekerjaan tertentu dapat
dilakukan oleh seseorang bila ia memiliki kemampuan. Bila dikaji lebih dalam
lagi, kemampuan ternyata mempunyai arti cukup luas karena kemampuan bukan semata-mata
menunjukkan kepada keterampilan dalam melakukan sesuatu. Lebih dari itu,
kemampuan dapat diamati dengan menggunakan setidak-tidaknya empat macam
petunjuk, yaitu:
1.
Ditunjang
oleh latar belakang pengetahuan
2.
Adanya
penampilan atau performance
3.
Kegiatan yang
menggunakan prosedur dan tehnik yang jelas
4.
Adanya
hasil yang dicapai
Kemampuan guru menggambarkan kemampuan
yang dituntut dari seseorang yang memangku jabatan sebagai guru. Artinya, kemampuan
yang ditampilkan itu menjadi ciri keprofesionalannya. Karena pada dasarnya
pernyataan suatu kemampuan melukiskan gabungan keterampilan atau kecakapan
khusus.
Tidak semua kemampuan yang dimiliki
seseorang menunjukkan bahwa ia adalah professional. Ada berbagai variasi kemampuan yang dimiliki.
Variasi itu menunjukkan tingkat jabatan yang didudukinya. Seseorang yang
menduduki jabatan pada tingkat vokasional, tentu memiliki kemampuan dalam
jabatannya. Namun, kemampuan yang dimilikinya berbeda dengan kemampuan seorang
professional tidak hanya menunjukkan apa dan bagaimana melakukan pekerjaan
semata-mata, tetapi juga menguasai rasional mengapa hal itu dilakukan
berdasarkan konsep dan teori tertentu.
Upaya untuk
meningkatkan kemampuan guru tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kemampuan
melaksanakan tugas. Guru sebagai tenaga professional sekurang-kurangnya
dituntut untuk kemampuan dalam melaksanakan tugas pokok sebagai berikut:
1.
Meningkatkan
kemampuan dan merencanakan proses pembelajaran.
2.
Meningkatkan
kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, yaitu dengan mengubah cara belajar
yang hanya terdiri dari aktifitas duduk, dengar, catat, dan hafalkan ke arah
cara belajar anak didik aktif.
3.
Meningkatkan
kemampuan menilai proses dan hasil mengajar.[31]
Kemampuan merencanakan, melaksanakan, dan
menilai merupakan tiga jenis kegiatan yang saling berkaitan. Oleh karena itu
tuntutan kemampuan yang harus dimiliki pun hendaknya secara lengkap meliputi
ketiga jenis kemampuan tersebut.
Dalam mewujudkan kemampuan guru
sebagaimana dijelaskan di atas, sering kali dihadapi berbagai masalah yang dapat
menghambat perwujudannya. Menurut Mohamad Ali yang dikutip oleh Cece Wijaya
meliputi beberapa aspek diantaranya kurangnya daya inovasi, lemahnya motivasi
untuk meningkatkan kemampuan, ketidak pedulian terhadap berbagai perkembangan,
kurangnya sarana dan prasarana.[32]
a.
Kurangnya
daya inovasi
Tidak sedikit para guru yang lebih senang
melaksanakan tugas sebagaimana yang biasa dilakukannya dari waktu ke waktu.
Keadaan semacam ini menunjukkan kecenderungan tingkah laku guru yang lebih
mengarah kepada mempertahankan cara yang biasa dilakukan dalam melaksanakan
tugas, atau ingin mempertahankan cara lama (konservatif) mengingat cara yang dipandang
baru pada umumnya menuntut berbagai perubahan pola-pola kerja.
Suatu perubahan dalam mempertahankan ide
atau konsep tentang cara belajar anak didik aktif menuntut adanya perubahan
dalam pola kerja pelaksanaan tugas pendidikan. Agar pola kerja itu sesuai
dengan tuntunan CBSA, perlu pula dimiliki berbagai kemampuan yang ditunjang
oleh wawasan dan pengetahuan tentang hal itu. Guru-guru yang masih memiliki
sifat konservatif memandang bahwa tuntutan semacam itu dengan kepentingan diri
semata-mata, tanpa mempedulikan tuntutan yang sebenarnya dari hasil pelaksanaan
tugas.
Para guru sepatutnya menyadari bahwa menduduki jabatan sebagai guru
tidak semata-mata menuntut pelaksanaan tugas sebagaimana adanya, tetapi juga
mempedulikan apa yang sebenarnya harus dicapai oleh pelaksanaan tugasnya.
Dengan adanya kepedulian terhadap apa yang seharusnya dicapai dalam pelaksanaan
tugasnya, dapat diharapkan tumbuh sikap inovatif, yakni kecenderungan untuk
berupaya agar selalu meningkat.
Tumbuhnya sikap konservatif di kalangan
guru diantaranya disebabkan oleh pandangan yang dimiliki oleh guru yang
bersangkutan bahwa belajar berarti menyampaikan bahan pelajaran. Mereka
cenderung mempertahankan cara mengajar dengan sekedar menyampaikan bahan.
Sebaiknya, guru yang berpandangan bahwa mengajar adalah upaya memberi kemudahan
belajar, selalu mempertanyakan apakah tugas mengajar yang dilaksanakan sudah berupaya
memberi hasil belajar anak didik dengan tolok ukur keberhasilan pelaksanaan
tugasnya. Guru demikian biasanya selalu melihat hasil belajar anak didik sebagai
tolak ukur keberhasilan dirinya dalam mengajar Hasil belajar anak didik dijadikan
balikan untuk menilai keberhasilan dirinya dalam mengajar. Berdasarkan balikan
itu selalu berupaya untuk melakukan perbaikan sehingga mutu keberhasilannya
selalu meningkat.
b.
Lemahnya
motivasi untuk meningkatkan kemampuan
Dorongan untuk meningkatkan kemampuan
melaksanakan tugas professional sebagai guru sepatutnya muncul dari dalam diri
sendiri. Dorongan itu bisa saja dirangsang dari luar.
Adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan
melalui pemberian penghargaan kepada guru-guru teladan, pemberian tambahan
insentif bagi guru yang menunjukkan dedikasi dan prestasi tinggi dapat dipandang
sebagai upaya untuk mendorong gairah memperbaiki mutu pengajaran. Cara-cara
semacam itu dapat dipandang sebagai alat untuk mendorong kreatifitas guru
meskipun ada kecenderungan untuk bersifat sementara.
Adanya dorongan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
yang muncul dari dalam diri sendiri lebih berarti dibandingkan dengan dorongan
yang muncul dari luar dirinya. Dorongan semacam ini tidak bersifat sementara,
dan menjadi prasyarat bagi tumbuhnya upaya untuk meningkatkan kemampuan. Bila
dorongan itu ada, maka rintangan atau hambatan apapun, serta betapapun beratnya
yang di hadapi, akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dorongan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan atau kegiatan akan muncul bila kegiatan yang dilakukan dirasakan
mempunyai nilai intrinsic atau berarti bagi dirinya sendiri. Hal ini mempunyai
kaitan dengan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan jasmani,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa dimiliki,
kebutuhan akan menghargai diri sendiri dan rasa dihargai oleh orang lain,
kebutuhan untuk mewujudkan diri sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki.
Tuntutan pemenuhan kebutuhan ini tumbuh secara bertahap, namun pada akhirnya
merupakan kebutuhan yang terpadu. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
merupakan tenaga yang mendorong untuk bertingkah laku. Jadi, dorongan untuk
meningkatkan kemampuan tersebut mempunyai dampak terhadap pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan yang dijelaskan di atas.
Lemahnya dorongan untuk meningkatkan
kemampuan dapat menjadi penghambat untuk mewujudkan tuntutan kemampuan
professional, khususnya kemampuan melaksanakan pembelajaran. Oleh karena itu,
agar pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik oleh para guru, terlebih
dahulu masalah tersebut perlu disingkirkan.
c.
Ketidak
pedulian terhadap berbagai perkembangan
Sikap konservatif mempunyai kaitan dengan
sikap tidak perduli dengan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam dunia
pendidikan. Dewasa ini, telah banyak dicapai berbagai perkembangan dalam dunia
pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu anak didik. Informasi
mengenai hal itu banyak diperoleh dari berbagai bahan literature, teks majalah,
jurnal, dan pemberitaan berbagai media massa.
Setiap kemajuan atau perkembangan yang dicapai merupakan alternatif bagi guru
untuk berupaya meningkatkan mutu pengajaran yang dilaksanakannya. Dari berbagai
alternatif itu dapat dipilih alternatif mana yang digunakan.
Bagi guru yang menunjukkan kepedulian yang
besar terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan yang dicapai dalam dunia
pendidikan, mengikuti berbagai perkembangan tersebut merupakan kebutuhan untuk
meningkatkan prestasi kerja. Di samping itu, guru yang bersangkutan menganggap
bahwa hal semacam itu merupakan tambahan pengetahuan yang dapat memperkaya
wawasannya. Dengan dibarengi motivasi yang tinggi serta sikap inovatif,
berbagai informasi yang didapat tidak hanya memperkaya alternatif pilihan untuk
melaksanakan tugas, tetapi juga menjadi dasar untuk membuat kreasi dari
perpaduan berbagai alternatif, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lingkungan kerjanya. Ini berarti bahwa dia pun telah memberi sumbangan yang
berarti bagi dunia pendidikan dan upaya meningkatkan mutu pendidikan.
d.
Kurangnya
sarana dan prasarana pendukung
Setiap perubahan atau pembaharuan menuntut
juga tersedianya sarana dan prasarana yang memadai untuk terlaksananya proses pembaharuan
tersebut. Dukungan sarana dan prasarana tidak harus berupa berbagai alat yang
canggih, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan yang bersifat minimal dan
memungkinkan untuk diwujudkan.
Idealnya, sarana dan prasarana itu dapat
diwujudkan oleh guru yang bersangkutan atau oleh lembaga (sekolah) yang hendak
melakukan proses pembelajaran. Namun mengingat berbagai keadaan, berharap
terlalu banyak dari guru, terutama hal-hal yang menyangkut penggunaan dana,
hampir merupakan sesuatu yang kecil kemungkinannya.
Permasalahan yang berkaitan dengan saran
dan prasarana untuk meningkatkan proses pembelajaran merupakan suatu bagian
yang terpadu dari seluruh masalah yang disebutkan di atas. Betapapun lengkap
dan canggihnya sarana yang tersedia, bila permasalahan yang menyangkut guru, seperti
sikap konservatif, lemahnya inovasi dan ketidak pedulian terhadap perkembangan,
itu belum tersingkirkan, ada kecenderungan pengadaan saran dan prasarana kurang
bermanfaat untuk menunjang keberhasilan. Sebaiknya, bila masalah-masalah tadi
dapat disingkirkan, namun kurang dukungan sarana dan prasarana perwujudannya
dapat terhambat.
2.
Beberapa
Upaya Pemecahannya
Setelah diketahui
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh guru dalam rangka meningkatkan
profesionalismenya, maka harus diketahui pula cara-cara untuk memecahkan
masalah tersebut. Berikut ini adalah beberapa upaya untuk memecahkan masalah
tersebut, di antaranya menumbuhkan kreatifitas guru, penataran dan lokakarya, supervisi,
dan pengajaran mikro.[33]
a.
Menumbuhkan
kreatifitas guru
Berbagai ide tentang pembaharuan atau
perubahan dalam praktek kependidikan ada yang dari atas, ada yang dari bawah.
Dalam praktek kependidikan yang ada, pada umumnya perubahan-perubahan terjadi
datang dan hilang. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah guru sebagai pelaksana
di lapangan kurang memiliki kreatifitas untuk memperbaiki mutu hasil belajar anak
didiknya. Padahal, ada kemungkinan para guru memiliki ide kreatif yang dapat
menjadi sumbangan berharga bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Para guru dipandang sebagai orang yang paling mengetahui
kondisi belajar, juga permasalahan belajar anak didiknya karena hampir setiap hari
mereka berhadapan dengan anak didik mereka. Guru kreatif selalu mencari cara
untuk bagaimana agar proses pembelajaran hasil sesuai dengan tujuan, dengan
mengembangkan faktor situasi belajar anak didik. Kreatifitas yang demikian
memungkinkan guru yang bersangkutan menemukan bentuk-bentuk mengajar yang
sesuai, terutama dalam memberi bimbingan, rangsangan, dan arahan agar anak
didik dapat belajar secara efektif.
Tumbuhnya kreatifitas di kalangan guru
memungkinkan terwujudnya ide perubahan dan upaya peningkatan secara
terus-menerus dan sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat di mana
sekolah berada. Di samping itu, tuntutan untuk meningkatkan kemampuan pun
muncul dari dalam diri sendiri, tanpa menunggu ide atau perintah dari atas.
Kreatifitas biasanya diartikan sebagai
kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru, baik yang benar-benar baru sama
sekali maupun yang merupakan inovasi atau perubahan dengan mengembangkan
hal-hal yang sudah ada. Bila konsep ini dikaitkan dengan kreatifitas guru, guru
yang bersangkutan mungkin menciptakan strategi mengajar yang benar-benar baru
dan orisinil, atau dapat saja merupakan modifikasi dari berbagai strategi yang
ada sehingga menghasilkan bentuk yang baru.
Kreatifitas secara umum dapat dipengaruhi
kemunculannya oleh adanya berbagai kemampuan yang dimiliki, sikap dan minat
yang positif dan tinggi terhadap bidang pekerjaan yang ditekuni, serta
kecakapan melaksanakan tugas-tugas.
b.
Penataran
dan Lokakarya
Pelaksanaan penataran dan lokakarya untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dapat
dilakukan oleh sekelompok guru yang mempunyai maksud yang sama. Pelaksanaannya
dilakukan dengan cara mengundang seseorang atau beberapa orang pakar sebagai nara sumber. Para pakar diminta memberi penjelasan, informasi dan
dasar-dasar pengetahuan yang berkaitan dengan yang dilokakaryakan. Setelah
peserta mengetahui pengetahuan dasar, selanjutnya di lakukan diskusi untuk
mengembangkan wawasan dan disusul dengan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan
dan keterampilan mengajar. Pelatihan yang di lakukan meliputi penyusunan
rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan perencanaan penilaian hasil
belajar yang berpedoman pada konsep-konsep dan prinsip yang telah ada.
Disamping ceramah, diskusi, pelatihan
dapat dilakukan pula melalui karya wisata ke suatu tempat yang erat kaitannya
dengan masalah yang dilokakaryakan. Untuk mengembangkan dan memperluas wawasan,
dapat pula ditambah dengan cara belajar di perpustakaan. Bahan-bahan yang
dipelajari sebaiknya disusun secara tertulis, baik dalam bentuk makalah biasa
maupun dalam bentuk program, paket belajar, atau modul sehingga setiap peserta
dapat belajar secara efektif.
Pelaksanaan pelatihan dalam lokakarya dapat
memanfaatkan metode supervisi atau klinis pengajaran makro sebagaimana dijelaskan
pada uraian berikutnya. Dengan demikian, para guru tidak hanya memperoleh
bekal-bekal pengetahuannya, tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan dan
keterampilan mengajarnya. Untuk mengetahui penambahan atau peningkatan pengetahuan
pada akhir kegiatan dilakukan evaluasi atas kemampuan dan keterampilan hasil
pelaksanaan lokakarya. Pelaksanaan evaluasi ini bersifat menilai diri sendiri
dengan menggunakan panduan yang disusun oleh pakar yang diundang atau oleh
panitia yang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Hasil evaluasi dapat dijadikan
balikan, baik bagi peserta maupun bagi penyelenggara.
c.
Supervisi
Supervisi adalah suatu proses pembimbingan
dari pihak atasan kepada guru-guru dan personalia sekolah lainnya yang langsung
menangani belajar para anak didik, untuk memperbaiki situasi belajar agar para anak
didik dapat belajar dengan efektif dengan prestasi belajar yang semakin
meningkat.[34]
Adapun tujuan dari supervisi ini adalah
untuk memperkembangkan situasi pembelajaran yang lebih baik. Usaha ke arah
perbaikan pembelajaran ditujukan kepada pencapaian tujuan akhir dari pendidikan,
yaitu pembentukan pribadi anak secara maksimal.[35]
Supervisi dilakukan dengan tujuan
meningkatkan kemampuan dalam proses belajar-mengajar melalui upaya menganalisis
berbagai bentuk tingkah laku pada saat melaksanakan program pembelajaran.
Pelaksanaan supervisi dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang sama-sama
ingin meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan proses pembelajaran. Mereka
secara bergantian melakukan pengamatan terhadap berbagai tingkah laku
masing-masing pada saat melaksanakan proses pembelajaran. Sebelum pelaksanaan
pengamatan, terlebih dahulu dibicarakan bentuk-bentuk tingkah laku apa yang
menjadi fokus pengamatan, dan secara bersama disusun panduannya. Berdasarkan
panduan itu, dilakukan pengamatan untuk melihat di mana letak
kelemahan-kelemahannya. Setelah masing-masing mengetahui kelemahan diri
sendiri, hal itu dijadikan dasar upaya untuk melakukan perbaikan dan
peningkatan kemampuan.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam rangka supervisi ini,
sebagaimana dijelaskan oleh Cece Wijaya, yaitu, langkah persiapan, langkah
pelaksanaan pengamatan, pembahasan hasil pengamatan.[36]
1.
Langkah
Persiapan
a.
Merundingkan
dengan teman sekerja upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam proses
pembelajaran.
b.
Merundingkan
fokus didasarkan atas jenis kemampuan yang hendak ditingkatkan (contoh:
bagaimana memberi penjelasan, bagaimana mengajukan pertanyaan, bagaimana
membimbing diskusi, atau bagaimana membimbing anak didik melakukan penemuan)
c.
Merumuskan
alat atau panduan untuk melakukan pengamatan terhadap bentuk-bentuk tingkah
laku tertentu sesuai dengan fokus yang didasarkan atas tolok ukur tertentu.
d.
Merundingkan
siapa yang lebih dulu melakukan pengamatan dan siapa kemudian sehingga, secara
bergiliran, masing-masing melakukan pengamatan.
Juga harus diwaspadai terjadinya
kesalahan-kesalahan dalam melakukan supervisi ini. Berikut contoh-contoh
kesalahan dalam melakukan supervisi seperti yang dikutip dari Dersal oleh Made
Pidarta diantaranya:
1.
Memperingatkan dengan suara yang
keras di hadapan orang lain.
2.
Pilih
kasih terhadap orang-orang tertentu dalam unit kerjanya.
3.
Kurang
tahu mengenai seluk beluk pekerjaannya (supervisi)
4.
Instruksinya
jelek, tidak umum atau tidak lengkap
5.
Batas
waktu penyelesaian pekerjaan tidak ditentukan.
6.
Pegawai dijadikan
kambing hitam walaupun kesalahan dibuat oleh
supervisor
7.
Tidak mau
mengakui kesalahan sendiri.
8.
Tidak mau
membantu atau membela anak buahnya.
9.
Selalu
mencari kesalahan yang dilakukan anak buahnya.
10. Selalu mencampuri urusan orang lain, biasanya
memberi nasehat soal-soal pribadi walaupun tidak diminta.
11. Selalu mengawasi secara ketat dan memperhatikan
segala sesuatu sampai sekecil-kecilnya yang dikerjakan bawahannya.
12. Tidak bisa mendelegasikan wewenang yang
diperlukan bawahan.
13. Tidak mempercayai anak buah secara penuh
14. Membicarakan atau menjelek-jelekan anak buah
sendiri dengan orang-orang di dalam kelompoknya.[37]
Dengan mengetahui contoh-contoh kesalahan
di atas, diharapkan dapat memberikan kesadaran pada supervisor yang kebetulan
melakukan kesalahan-kesalahan yang sama dengan contoh itu, bahwa sebetulnya
mereka telah melakukan sesuatu yang keliru. Kesadaran yang telah terbuka ini
diharapkan memotivasi diri sendiri untuk meningkatkan profesi dengan cara
membaca atau belajar tentang tehnik-tehnik supervisi yang baru.
2.
Pelaksanaan
Pengamatan
a.
Dengan
menggunakan panduan yang sudah disusun sebagai pegangan, dilakukan pengamatan
secermat mungkin terhadap tingkah laku guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran.
b.
Membuat
catatan singkat tentang segi-segi yang menyangkut tingkah laku guru dan reaksi anak
didik selama proses pembelajaran berlangsung.
c.
Membuat
ulasan mengenai hal-hal yang dipandang perlu diulas. Ulasan dicatat dalam
lembaran lain di luar panduan pengamatan.
d.
Kepedulian
pengamatan terbatas pada hal-hal yang menjadi fokus semata-mata.
3.
Pembahasan
Hasil Pengamatan
a.
Pembahasan
dimulai dengan mengemukakan segi-segi positif dari proses pembelajaran yang
diamati.
b.
Menunjukkan
beberapa kelemahan dari proses pembelajaran, kemudian membahas mengapa hal itu
terjadi serta bagaimana kemungkinan menghindarinya sebagai dasar untuk
pelatihan pada proses pembelajaran.
c.
Jika
ternyata guru yang bersangkutan menemukan kesulitan dalam menampilkan segi-segi
tingkah laku tertentu dalam proses pembelajaran, dapat dilakukan pelatihan
terlebih dulu dalam menampilkan segi tersebut sebelum memulai pengajaran. Untuk
memudahkan pelaksanaan, terlebih dulu dilakukan kajian tentang bentuk dan
kemampuan mana yang terlebih dulu diupayakan untuk ditingkatkan sebagai secara
bertahap tuntutan kemampuan minimal dalam proses pembelajaran dapat tercapai.
d.
Pengajaran
Mikro
pengajaran mikro secara praktek untuk
melatih kemampuan melaksanakan proses pembelajaran dapat dilaksanakan oleh sekelompok
guru (biasanya antara lima
dan sepuluh orang) di suatu sekolah. Karena praktek pelatihan ini bersifat
khusus, pelaksanaannya dilakukan di luar kegiatan mengajar yang sebenarnya.
Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan cara seorang guru bertindak sebagai
pengajar, sedangkan guru yang lain menjadi anak didik yang melakukan proses pembelajaran.
Kegiatan semacam ini merupakan suatu cara untuk bekerja sama meningkatkan
kemampuan dalam melaksanakan pembelajaran.
Ada beberapa ciri dari pengajaran mikro
ini, di antaranya adalah:
1.
Pengajaran
mikro merupakan praktek pengajaran yang sebenarnya, bukan simulasi mengajar
yang bersifat pura-pura, dengan memanfaatkan teman sekerja sebagai anak didik.
2.
Sebagai
pengajaran yang sebenarnya, dalam pengajaran mikro ada bahan pelajaran atau
bentuk-bentuk pengalaman belajar, baik berupa pengetahuan maupun berupa
keterampilan yang akan dicapai setelah proses pembelajaran serta apa yang
seharusnya dilakukan oleh anak didik (teman sekerja yang menjadi anak didik)
untuk memperoleh pengalaman belajar tersebut.
3.
Perbedaan
antara pengajaran mikro dan pengajaran biasa adalah dalam pengajaran mikro,
waktu yang digunakan cukup pendek (sekitar 20 menit), anak didiknya sedikit
(sekitar 5 sampai 10 orang)
4.
Pelaksanaan
pengajaran mikro terpusat dalam pelatihan bentuk-bentuk keterampilan tertentu
yang hendak ditingkatkan kemampuannya.[38]
C.
Penelitian
Sebelumnya
Sebelum Penulis melakukan penelitian ini,
telah ada beberapa penelitian yang bersangkutan dengan penelitian yang penulis
lakukan ini diantaranya:
1.
Peranan
Pengawas Pendidikan Agama Islam Dalam meningkatkan Profesionalisme Guru PAI di
Kecamatan Pungging Kab. Mojokerto oleh Nurhasan (IAIN Sunan Ampel 2005) yang
hasilnya menyatakan bahwa keberadaan pengawas PAI berperan dalam peningkatan
profesionalisme guru di Kecamatan Pungging Kab. Mojokerto
2.
Supervisi
oleh Kepala Sekolah sebagai usaha peningkatan profesionalisme guru di MAN
Galawak Kertosono Nganjuk oleh Nuraini (IAIN Sunan Ampel 2003) yang hasilnya
Supervisi mempunyai peranan yang besar dalam peningkatan profesionalisme.
3.
Pengaruh latar belakang guru terhadap profesionalisme
mengajar guru di MTs. Al-Khoziny Buduran Sidoarjo oleh Zainal (STAI Al-Khoziny 2004)
yang hasilnya menyatakan terdapat pengaruh latar belakang pendidikan guru
dengan terhadap profesionalisme guru di MTs. Al-Khoziny Buduran Sidoarjo.
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Praktis, Remaja Rosda Karya, (Bandung
: 1997) hal. 71
[18] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis
Dan Praktis, Remaja Rosda Karya, (Bandung
: 1997) hal. 139
[20] Amin Indrakusuma, Pengantar Ilmu
Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Malang, (Malang : 1999) hal. 171
[21] Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan
Kompetensi Guru, Usaha Nasional (Surabaya : 1994) hal. 33
[25] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar
Mengajar, Sinar Baru Algesindo (Bandung
: 1995), hal. 18
[31] Drs. Cece Wijaya Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar, Remaja Rosda Karya (Bandung
: 1998), hal. 185
[35] Piet Sahertian, Prinsip dan Teknik
Supervisi Pendidikan, Usaha Nasional, (Surabaya : 1990), hal. 23.
0 komentar:
Posting Komentar