Jumat, 01 Juni 2012

Profesionalisme Guru


KAJIAN TENTANG PROFESIONALISME GURU
A.    Profesionalisme Guru
1.      Pengertian Profesionalisme
Dalam mengartikan kata profesionalisme penulis hanya akan mengutip tiga (3) pendapat saja, yaitu yang pertama menurut Muzayyin Arifin. Istilah profesionalisme berasal dari kata profession, yang mengandung arti sama dengan occuption atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan yang khusus. Sedangkan beliau mengartikan Profesionalisme sebagai suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu pula yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.[10]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Profesionalisme berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari satu profesi atau orang yang professional.[11] Sedangkan menurut Ahmad Tafsir profesionalisme berarti paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang professional.[12]
Dari tiga (3) pendapat di atas, dapat dipahami bahwa profesionalisme merupakan sifat atau karakter yang harus dimiliki seseorang yang professional. Sedangkan istilah professional itu mengandung pengertian yang bersangkutan dengan profesi memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya.
Untuk itu, suatu pekerjaan yang bersifat professional menuntut adanya keahlian tertentu yang didasari dengan beberapa bidang ilmu yang relevan dengan pekerjaan itu, dan kemudian diaplikasikan dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Sudah barang tentu pekerjaan yang professional memerlukan beberapa syarat dan ciri tertentu yang dapat membedakannya dengan jenis pekerjaan yang lainnya.
2.      Pengertian Guru
Dalam mendefinisikan guru banyak sekali pendapat para pakar maupun pemikir pendidikan. Salah satunya dikemukakan oleh Athiyah Al-Abrosyi yang mengatakan sebagai berikut:
"Guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang anak didik tugasnya adalah memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak, dan membenarkannya. Maka menghormati guru berarti menghormati anak-anak Kita, dengan itulah mereka hidup dan sekira setiap guru itu menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya.[13]
Dari pengertian di atas dapat dimengerti bahwa guru adalah tokoh moral spiritual bagi anak didik, pekerjaannya adalah memberikan santapan jiwa berupa ilmu, budi pekerti dan norma kesusilaan yang nantinya bermanfaat bagi anak didik tersebut.
Lebih lanjut dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa "Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan".[14]
Seseorang yang telah memutuskan untuk menggeluti profesi guru berarti secara tidak langsung ia telah merelakan dirinya menerima serta memikul tanggung jawab pendidikan yang telah dilimpahkan oleh orang tua anak didik kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang orang karena tidak semua orang dapat menjadi guru. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pendidikan yang diberikan kepada anak meliputi pendidikan yang multidimensional menuju terbentuknya insan kamil.
Pemikiran tersebut di atas, kiranya bisa dimaklumi mengingat tuntutan zaman yang sarat dengan kemajuan dan inovasi-inovasi baru sehingga diprioritaskan bukan hanya kemajuan orang per orang, tetapi juga kemajuan pendidikan di Indonesia.
Kemajuan dalam pendidikan yang demikian akan sangat bergantung pada berhasil tidaknya usaha pendidikan dalam mempersiapkan generasi muda bangsa yang saat ini tengah menekuni pendidikannya masing-masing. Gurulah merupakan faktor yang penting dalam hal ini.   
Jadi jelaslah bahwa guru itu adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, baik itu berupa perkembangan jiwa, ataupun perkembangan mental anak didik.
3.      Syarat dan Kompetensi Guru Profesional
Seperti halnya profesi yang lain, guru juga memiliki tugas-tugas tersendiri yang secara spesifik berbeda dengan profesi yang lainnya. Menurut Moh Uzer Usman, beliau mengatakan bahwa pada dasarnya tugas pokok dari seorang guru, baik itu yang terkait dinas ataupun di luar dinas menyangkut tiga (3) jenis, yaitu tugas dalam bidang profesi, tugas dalam bidang kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.[15] Mengenai tugas-tugas ini nanti akan dibahas dalam pembahasan yang khusus.
Dalam rangka memenuhi tugas-tugas tersebut, seorang guru perlu dibekali beberapa persyaratan, baik yang sifatnya akademis maupun non akademis. Menyangkut hal ini, banyak pendapat yang dikemukakan oleh pakar dan ahli pendidikan, yang intinya mengarah pada terealisasinya sosok guru yang ideal dan mempunyai tingkat profesionalisme yang tinggi.
Uzer Usman yang mengutip Moh Ali, mengatakan beberapa persyaratan yang dituntut harus dipunyai oleh seorang guru diantaranya adalah:
a.       Menuntut keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
b.      Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
c.       Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai
d.      Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya.
e.       Memungkinkan perkembangan yang sejalan dengan dinamika kehidupan.[16]





Dari uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa guru sebagai suatu profesi harus memenuhi kriteria persyaratan yang menyangkut adanya kemampuan akademis, baik secara teoritis maupun pengaplikasian dari teori itu sendiri, serta kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat sesuai dengan statusnya.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 2 tahun 2003 ditegaskan bahwa untuk menjadi seorang pendidik diperlukan syarat sebagai berikut:
1.      Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan
2.      Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, pamong pelajar, widya suara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang dengan kekhususannya berpartisipasi dalam pendidikan.[17]
Dari konsep di atas, dapat dipahami bahwa untuk menjadi seorang guru, tidak hanya dituntut persyaratan secara formal, akan tetapi pula harus memiliki landasan moral, baik kepada Tuhan YME, maupun kepada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Hal ini bisa di mengerti bahwa tugas seorang guru tidak hanya menyangkut orang per orang, serta tanggung jawab yang diemban harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan YME.
Bila ditelaah kembali kedudukan seorang guru sebagai pengemban tangung jawab pendidikan anak dalam arti yang lebih khusus, dapat dikatakan


bahwa setiap pribadi atau individu terletak tanggung jawab untuk membawa anak didik pada status kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka mencapai hal tersebut guru tidak semata-mata sebagai pengajar yang transfer of knowledge (pemindahan ilmu pengetahuan) ilmu tetapi juga sebagai pendidik yang transfer of values (pemindahan nilai-nilai) dan sekaligus sebagai pembimbing anak didik dalam belajar.
Dari sini dapat ditangkap betapa kompleksnya tugas seorang guru, sehingga tentu diperlukan persiapan ekstra untuk dapat memenuhi tugas tersebut. Ketiga tugas dan tanggung jawab di atas, yakni guru sebagai pengajar, pendidik, dan juga pembimbing menuntut adanya persiapan setiap individu secara maksimal dalam berbagai aspek, karena akan dihadapkan dengan permasalahan di lapangan pendidikan yang cukup komplek pula.
Ngalim Purwanto menyebutkan syarat-syarat guru yang baik di antaranya sebagai berikut:
1.      Berijazah
2.      Sehat jasmani dan rohani
3.      Takwa kepada Tuhan YME dan berkelakukan baik
4.      Bertanggung jawab
5.      Berjiwa Nasional[18]
Dari pendapat Ngalim Purwanto ini, dapat dimengerti bahwa persyaratan seorang guru adalah ijazah. Sudah barang tentu ijazah di sini adalah ijazah yang dapat memberi wewenang untuk menjalankan tugas sebagai guru di suatu sekolah.
Ijazah bukan semata-mata sehelai kertas saja ijazah adalah surat bukti yang menunjukkan bahwa seseorang telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan-kesanggupan tertentu, yang diperlukannya untuk suatu jabatan atau pekerjaan. Tapi kemudian muncul pertanyaan, dapatkah dipastikan bahwa orang yang berijazah itu bisa menjalankan tugasnya dengan baik? Jawabannya tentu saja belum, tiap-tiap orang membutuhkan pengalaman-pengalaman dalam pekerjaannya untuk memperbaiki dan mempertinggi hasil pekerjaannya. Juga diketahui bahwa, tiap-tiap orang beda tempramen, watak, dan kepribadiannya. Hal ini menyebabkan hasil dan kemajuan seseorang tidak sama pula. Ijazah yang sama tidak berarti bahwa, cara dan hasil cara dan pekerjaan dari orang-orang sama pula.
Kalaupun demikian, untuk menjadi seorang pendidik haruslah memiliki ijazah yang diperlukan. Itulah bukti bahwa yang bersangkutan telah mempunyai wewenang atau telah dipercaya oleh negara dan masyarakat untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang guru.
Sedangkan menurut Seojono yang dikutip oleh Ahmad Tafsir menyatakan bahwa persyaratan seorang guru meliputi umur, ia harus sudah dewasa, kesehatan ia harus sehat jasmani dan rohani, kemampuan ia ahli serta harus berkesusilaan berdedikasi tinggi.[19]
1.      Guru harus dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang, menyangkut nasib seseorang. Oleh karena itu, tugas tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa, anak kecil tidak dapat dimintai pertanggung jawaban. Di Indonesia, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau sudah pernah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah umur 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Bagi pendidik asli, dalam hal ini orang tua tidak dibatasi umur minimal, bila mereka telah mempunyai anak, maka mereka boleh mendidik anaknya. Dilihat dari segi ini, maka sebaliknya umur kawin ialah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan.
2.      Guru harus sehat jasmani dan rohani
Ada pepatah mengatakan dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula. Jadi jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan bahkan membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular, sebab guru adalah pengganti dari orang tua. Dari segi rohani, orang gila berbahaya juga bila ia mendidik, orang idiot tidak mungkin mendidik karena ia tidak akan bertanggung jawab.
3.      Guru harus ahli
Ini penting sekali bagi seorang pendidik, termasuk guru, orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan anak-anaknya di rumah. Sering kali terjadi kelainan pada anak didik disebabkan oleh kesalahan pendidikan dalam rumah tangga.
4.      Guru harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting untuk melaksanakan tugas mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia sendiri tidak baik perangainya? Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain mengajar, dedikasi tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan mutu mengajar.
Secara operasional, syarat umur dapat dibuktikan dengan memperlihatkan akte kelahiran atau tanda pengenal sah lainnya, syarat kesehatan dibuktikan dengan memperlihatkan keterangan dokter, syarat keahlian dapat dilihat pada ijazah atau keterangan lainnya yang sah dan syarat agama secara sederhana dapat dibuktikan dengan memperlihatkan kartu penduduk atau surat keterangan lainnya yang sah. Mengenai syarat dedikasi yang disebut oleh Seojono agaknya agak sulit untuk dibuktikan.
Amin Indrakusuma membagi persyaratan menjadi seorang guru yang baik itu ke dalam tiga golongan, yaitu persyaratan jasmaniah dan kesehatan, persyaratan pengetahuan pendidikan, persyaratan kepribadian.[20]



1.      Persyaratan Jasmaniah dan Kesehatan
Guru adalah petugas lapangan dalam pendidikan. Gurulah yang setiap hari bergaul secara langsung dengan anak didik, yang merupakan obyek pokok dalam pendidikan.
Di samping itu, Guru juga merupakan seorang pemimpin. Guru adalah pemimpin dari anak didik yang ada di bawah asuhannya. Sebagai seorang pemimpin, wajarlah kalau ia menjadi kebanggaan dari anak didiknya, selalu dipuja dan dipuji oleh anak didiknya, dan sekaligus merupakan tempat kepercayaan anak didiknya. Sampai-sampai, bagi anak didik yang masih begitu muda, apa yang dikatakan oleh gurunya, apa yang diajarkan oleh gurunya, dianggapnya semua benar belaka. Pada pandangan anak yang masih kecil itu, guru selalu benar. Guru tidak mungkin berbuat salah. Oleh karena itu, apabila ada yang menyalahkan gurunya, maka ditentangnya dengan keras, dibelanya gurunya, dan dikatakan demikian menurut bapak atau ibu guru. Hal yang demikian kadang-kadang masih terdapat juga pada anak didik yang lebih tua.
Tetapi, bagaimanapun juga umumnya guru selalu menjadi ideal bagi anak didiknya. Guru selalu menjadi pujaan bagi anak didiknya. Guru adalah suatu model bagi anak didiknya. Oleh karena itu, persyaratan jasmaniah seorang guru yang pertama-tama harus dipenuhi adalah bahwa seorang guru tidak boleh mempunyai cacat tubuh yang nyata. Misalnya saja, mata juling atau kero (Jawa), mulut sumbing, jalannya pengkor, dan sebagainya. Hal ini semua, di samping memang bisa mengganggu guru dalam menunaikan tugasnya, akan mengurangi atau mungkin menghilangkan kebanggaan anak didik kepada gurunya, dan bahkan dapat mendatangkan kekecewaan terhadap keadaan fisiknya guru ini, sangat berpengaruh pada suasana pembelajaran dan pendidikan, dan dengan sendirinya berpengaruh kepada hasil pendidikan.   
2.      Persyaratan Pengetahuan Pendidikan
Banyak orang yang berpendapat, bahwa menjadi seorang guru cukup mudah. Orang mengira, bahwa asal sudah mempunyai cukup pengetahuan tentang pelajaran yang akan diberikan, maka orang itu akan dapat mengajarkan pelajaran tersebut. Dengan demikian setiap orang yang pandai, akan dapat mengajar.
Adapun pengetahuan yang penting guna pembentukan profesi guru diantaranya ialah:
1.      Pengetahuan tentang pendidikan yang meliputi: ilmu pendidikan teoritis dan ilmu sejarah pendidikan.
2.      Pengetahuan Psikologi yang meliputi: Psikologi umum, Psikologi anak, Psikologi pendidikan.
3.      Pengetahuan tentang kurikulum
4.      Pengetahuan tentang metode mengajar.
5.      Pengetahuan tentang dasar dan tujuan pendidikan.
6.      Pengetahuan tentang moral, nilai-nilai dan norma-norma.

 
3.      Persyaratan Kepribadian
Sebenarnya kepribadian mempunyai arti yang sangat luas. Kepribadian adalah keseluruhan dari ciri-ciri dan tingkah laku seseorang. Sehingga kepribadian meliputi juga kecerdasan, kecakapan, pengetahuan, sikap, minat, tabiat, kelakuan dan sebagainya. Tentang pengertian kepribadian di sini lebih ditekankan kepada kelakuan, tabiat, sikap dan minat. Kelakuan dan tabiat adalah sesuatu yang berhubungan dengan moral.
Berbicara tentang moral, maka hanya ada dua macam moral, yaitu moral yang baik dan moral yang tidak baik atau moral yang rendah. Moral yang luhur dan moral yang hina. Moral yang terpuji dan moral terkutuk atau tercela.
Kepada seorang guru, disyaratkan untuk memiliki moral yang baik, moral yang tinggi, moral yang luhur, moral yang terpuji. Seorang guru bukanlah hanya seorang penyampai berita, bukan hanya sekedar perantara, bukan hanya sekedar pengoper nilai-nilai dan norma-norma, melainkan seorang guru adalah pendukung norma. Ia tidak bisa hanya menunjuk atau mengambil nilai-nilai atau norma-norma itu untuk kemudian diberikan kepada anak, tetapi nilai-nilai dan norma-norma itu sebelum diberikan pada anak, harus lebih dulu telah menjadi miliknya. Norma-norma dan nilai-nilai itu harus meresap di dalam hati sanubarinya dan telah merupakan sebagian isi dari kepribadiannya. Dengan kata lain, seorang guru harus mempunyai moral yang luhur, sehingga dalam gerak dan tingkah lakunya selalu dapat menjadi tauladan bagi anak didik. Seorang guru harus benar-benar digugu dan ditiru. Artinya segala tutur katanya, segala anjurannya, segala nasehat-nasehatnya benar-benar dapat dipercaya, harus benar-benar dapat dipergunakan sebagai pegangan, sebagai pedoman, dan segala gerak-geriknya, segala tingkah lakunya, segala perbuatannya harus benar-benar menjadi contoh. Bagaimanapun juga, kalau seorang hanya dapat mengatakan, tetapi ia sendiri tidak mampu melaksanakan, sebenarnya disangsikan, apabila yang dikatakannya itu dapat diterima (dalam arti dipercaya dan dipatuhi) oleh orang lain, malahan sering pula menjadi bahan ejekan.
Setelah dijelaskan perihal syarat-syarat menjadi seorang guru yang professional, berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat mengenai kompetensi guru.
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris, yaitu "competence", yang berarti kecakapan, kemampuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu.[21] Sedangkan menurut Moh Uzer Usman kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.[22]
Guru sebagai tenaga professional dalam bidang kependidikan, selain harus memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan konseptual, ia juga harus dapat memahami dan melaksanakan hal-hal yang bersifat teknis. Di dalam proses interaksi pembelajaran, guru minimal harus memiliki dua modal dasar, yakni kemampuan mendesain program dan keterampilan mengkomunikasikannya kepada anak didik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaiful Bahri Djamarah bahwa kompetensi guru itu antara lain meliputi; kepribadian, penguasaan bahan, kesadaran waktu, penguasaan metode, media.[23]
1.      Kepribadian
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam makna yang demikian, maka seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan gambaran dari kepribadian orang itu. Oleh karena itu, bila seseorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang baik sering dikatakan bahwa seseorang itu memiliki kepribadian yang baik atau berakhlak mulia. Sebaliknya, bila seseorang melakukan sikap dan perbuatan yang tidak baik menurut pandangan masyarakat, maka dikatakan seseorang itu tidak memiliki kepribadian yang baik atau memiliki akhlak yang jelek.
Kepribadian juga adalah unsur yang cukup menentukan keakraban hubungan guru dengan anak didik. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Guru yang dapat mengerti kesulitan anak didiknya dalam hal belajar dan kesulitan lainnya di luar masalah belajar dan bisa menghambat belajar anak didiknya.
Pada dasarnya kepribadian merupakan hal yang penting dalam pendidikan dan pengajaran, tidak saja selama mengajar dan bergaul dengan anak didik, bahkan di luar sekolah pun kepribadian guru merupakan suatu hal yang penting. Sebab guru tidak saja digugu dan ditiru oleh anak didik selama di sekolah, tetapi di masyarakat pun digugu dan ditiru.
2.      Penguasaan bahan
Dalam unsur pendidikan, guru dan anak didik adalah dua orang yang termasuk dalam unsur-unsur pendidikan selain unsur-unsur yang lainnya seperti alat, tujuan dan lingkungan. Bahkan unsur guru dan anak didik inilah yang sangat berperan dalam proses interaksi pembelajaran. Sebab inti kegiatan pendidikan adalah proses interaksi pembelajaran, sedangkan unsur-unsur yang lainnya sebagai pendukung dari prose situ. Ini berarti pendidikan dan pengajaran tidak terlihat di dalamnya.
Dalam proses pembelajaran, guru adalah orang yang memberikan ilmu dan keterampilan pada anak didik. Sedangkan anak didik adalah subyek yang menerima pelajaran atau ilmu pengetahuan dari guru. Ilmu pengetahuan adalah alat yang sangat penting dalam proses itu. Tanpa ilmu pengetahuan prose situ tidak akan berlangsung, sebab ilmu pengetahuan adalah subtansi proses pembelajaran. Dengan demikian, ilmu pengetahuan berfungsi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari, bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran bahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang, yakni tujuan pendidikan nasional.  Bahkan lebih jauh lagi, guru yang tidak menguasai bahan pelajaran akan menemui kesulitan mengelola interaksi pembelajaran.
Proses pembelajaran akan kaku jika wawasan keilmuan guru tidak didukung oleh pengetahuan lainnya, yang relevan dengan bidang studi yang di pegang guru. Anak didik cepat jenuh sebelum pelajaran berakhir. Akibatnya, jalan pembelajaran akan jadi kurang menarik perhatian anak-anak didik dan kesannya pun sebagian besar tidak tersimpan dalam otaknya. Hal ini pertanda bahwa guru kurang mampu menciptakan proses pembelajaran yang kondusif. Kondisi pembelajaran seperti ini akan merugikan anak didik, tidak saja dari segi materi, usia dan waktu, tetapi juga dari segi kemajuan belajar anak didik jadi lamban, yang mempengaruhi prestasi belajarnya.
3.      Kesadaran Waktu
Jika kompetensi ini dimiliki oleh setiap guru dalam interaksinya dengan anak didiknya, dalam rapat sekolah, dalam pertunjukan kesenian sekolah, pertandingan, dalam bimbingan dan penyuluhan dan sebagainya maka wibawa guru akan terpelihara, bahkan meningkat, dan akan terjamin pula keberhasilan yang diharapkan.
Dalam pendidikan dan pembelajaran, waktu merupakan aspek yang selalu mendapatkan perhatian dari setiap pengelola pendidikan dan pembelajaran. Waktulah yang membatasi setiap ruang gerak dari proses interaksi pembelajaran. Proses itu akan berakhir sesuai waktu yang telah dijadwalkan setiap bidang studi, begitu juga pada awal akan memulai pelajaran, guru akan memasuki ruang kelas bila jadwal mengajar untuknya telah sampai.
Seorang guru yang menyadari pentingnya waktu, dia tidak membiarkan waktu berlalu tanpa makna, tetapi memanfaatkannya secara efektif dan efisien. Dalam proses interaksi pembelajaran, pemanfaatan waktu secara efektif dan efisien merupakan harapan semua guru, namun untuk menciptakan suasana yang demikian tidak semudah yang dibayangkan, karena faktor lain tidak bisa diabaikan dan perlu diperhatikan dalam penyusunan strategi pembelajaran.
Sebaliknya, guru yang kurang menghargai waktu merupakan tindakan yang kurang bijaksana, karena sikap seperti itu akan merugikan anak didik. Guru yang sering terlambat memasuki kelas, sementara semua anak didik telah memasuki kelas, akan mengecewakan anak didik dalam penantian. Selain dapat menimbulkan kegaduhan dalam kelas, kelelahan pun dirasakan anak didik. Pada sisi lain sikap guru yang demikian akan mengurangi kewibawaan guru. Oleh karena itu, waktu merupakan aspek yang lain yang ikut mempengaruhi prestasi anak didik selain kompetensi guru lainnya, seperti kewibawaan dan penguasaan bahan.


4.      Penguasaan metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran, metode yang digunakan seorang guru hendaknya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun metode mengajar yang telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli pendidikan.
Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya terpaku menggunakan satu metode, tetapi harus menggunakan metode yang bervariasi agar jalan pembelajaran tidak membosankan, tetapi menarik perhatian anak didik. Meski penggunaan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan proses pembelajaran bila penggunaan metode itu tidak tepat dengan situasi yang mendukungnya. Di sinilah kompetensi guru diperlukan dalam pemilihan metode yang tepat. Oleh karena itu, pemilihan metode yang bervaraisi tidak selamanya menguntungkan bila guru mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaannya. Winarno Surakhmad yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah mengemukakan lima macam faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar sebagai berikut:
1.      Tujuan yang berbagai-bagai jenis dan fungsinya.
2.      Anak didik yang berbagai-bagai tingkat kemampuannya
3.      Situasi yang berbagai-bagai keadaannya
4.      Fasilitas yang berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya
5.      Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda.[24]
Kompetensi-kompetensi di atas intinya terangkum dalam tiga hal sebagaimana dikemukakan Nana Sudjana, antara lain meliputi kompetensi bidang kognitif, afektif, serta prilaku atau performance, yang selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Kompetensi bidang kognitif
Artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara belajar anak didik, pengetahuan tentang bidang kemasyarakatan, serta pengetahuan lainnya.
b.      Kompetensi bidang sikap (afektif)
Artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama teman seprofesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.  
c.       Kompetensi bidang Prilaku atau performance
Artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan /prilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat Bantu pelajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan anak didik, keterampilan menumbuhkan semangat belajar pada anak didik, keterampilan menyusun persiapan mengajar keterampilan melaksanakan administrasi kelas dan lain-lain. Perbedaannya dengan kompetensi kognitif terletak pada sifatnya kalau kompetensi kognitif berkenaan dengan aspek teori atau pengetahuannya, sedangkan pada kompetensi prilaku yang diutamakan adalah praktek/keterampilan melaksanakannya.[25]
4.      Ciri-Ciri Guru Profesional
Mengajar adalah suatu usaha yang komplek, sehingga sukar menentukan bagaimana sebenarnya mengajar yang baik. Ada guru yang mengajar baik pada Taman Kanak-kanak akan tetapi menemui kegagalan di kelas-kelas tinggi, dan sebaliknya ada guru besar yang pandai mengajar kepada mahasiswa yang sudah mahir akan tetapi tidak sanggup menghadapi anak didik di kelas rendah.
Ada baiknya jika mengetahui ciri-ciri guru yang baik (professional). Menurut Nasution ada beberapa ciri guru professional, di antaranya adalah:
1.      Memahami dan menghormati anak didik
2.      Menghormati bahan pelajaran
3.      Menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran
4.      menyesuaikan bahan pelajaran dengan kemampuan individu anak didik
5.      Mengaktifkan anak didik dalam hal belajar.
Hal lain yang juga menjadi ciri dari seorang guru yang professional adalah:
1.      Seorang guru mampu merumuskan tujuan dari setiap pelajaran yang di berikan.
2.      Guru harus menguasai bahan pelajaran.
3.      Guru harus mencintai apa yang diajarkan dan berpendirian bahwa mengajar adalah suatu profesi yang diharapkan dan mantap.
4.      Mengerti pada anak tentang pengalaman pribadinya
5.      Menggunakan variasi-variasi dalam mengajar.
6.      Membimbing kepada apa yang aktual dan harus disiapkan sebaik-baiknya.
7.      Murah  pujian dan berani
8.      Dapat menimbulkan semangat belajar secara individual.[26]
Menurut Zakiyah Daradjat, beliau mengatakan bahwa seorang guru bisa dikatakan professional dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Lebih mementingkan layanan dari pada kepentingan pribadi
b.      Mempunyai status yang tinggi.
c.       Memiliki pengetahuan yang khusus.
d.      Memiliki kegiatan intelektual.
e.       Memiliki hak untuk memperoleh standar kualifikasi profesi.
f.       Memiliki etika profesi yang ditentukan oleh organisasi profesi.[27]
Bentuk guru yang ideal dengan ciri kreatif, intelektualnya tinggi, standar kualifikasi profesinya bisa dipertanggung jawabkan akan menciptakan interaksi edukatif aktif dengan anak didik, sehingga bisa menemukan kebutuhan belajar anak didik sesuai dengan bakat, minat serta kemampuan dasar yang dimilikinya, tanpa adanya paksaan dari luar.
  Apabila seorang guru mampu menjalankan roda tugas secara professional seperti tersebut di atas, maka akan mampu pula membawa anak didik untuk berpikir tentang kebutuhan hari ini dan esok. Kemampuan membawa anak didik inilah yang perlu dikembangkan untuk mengantarkan anak didik mengaktualisasikan dirinya secara maksimal bagi dirinya, masyarakat serta negaranya.
5.      Tugas Dan Tanggung Jawab Guru Profesional
Dalam proses pembelajaran terdapat tiga komponen yang saling berkaitan erat. Ketiga komponen itu adalah guru, isi atau materi pelajaran, dan anak didik. Guru sebagai salah satu komponen pembelajaran tentunya mempunyai tugas-tugas yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Menurut Moh. Ali, guru mempunyai tiga tugas utama, yakni merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan memberikan balikan.[28]
            1. Merencanakan pembelajaran
Perencanaan yang dibuat, merupakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran sehingga terjadi suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mengantarkan anak didik mencapai tujuan yang diharapkan perencanaan itu meliputi:
1.      Tujuan apa yang hendak dicapai, yaitu bentuk tingkah laku apa yang diinginkan dapat dicapai atau dapat dimiliki oleh anak didik setelah terjadinya proses pembelajaran
2.      Bahan pelajaran yang dapat mengantarkan anak didik mencapai tujuan
3.      Bagaimana proses pembelajaran yang akan diciptakan oleh guru agar mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
4.      bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui atau mengukur tujuan itu tercapai atau tidak. 
            2. Melaksanakan pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran selayaknya berpegang pada apa yang tertuang dalam perencanaan. Namun, situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembelajaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Oleh sebab itu, guru sepatutnya peka terhadap berbagai situasi yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya dalam mengajar dengan situasi yang dihadapi. Situasi pembelajaran itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain guru, anak didik, kurikulum, lingkungan.

            3. Memberikan balikan
Balikan mempunyai fungsi untuk membantu anak didik memelihara minat dan antusias anak didik dalam melaksanakan tugas belajar. Upaya memberikan balikan harus dilakukan secara terus menerus. Dengan demikian, minat dan antusias anak didik dalam belajar selalu terpelihara. Upaya itu dapat dilakukan dengan jalan melakukan evaluasi. Hasil evaluasi itu sendiri harus diberitahukan kepada anak didik yang bersangkutan, sehingga mereka dapat mengetahui letak keberhasilan dan kegagalannya. Evaluasi yang demikian benar-benar berfungsi sebagai balikan, baik bagi guru maupun bagi anak didik.
Menurut Abu Ahmadi, tugas guru dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.      Disamping mengajar sekaligus mendidik. Guru yang baik selalu berusaha menggunakan setiap kesempatan untuk mempengaruhi anak didiknya.
2.      Untuk melaksanakan tugas di atas, guru harus membuat persiapan lebih dahulu sebelum berhadapan dengan anak didik di kelas. Di sini ada tiga macam persiapan yang harus dipenuhi yaitu persiapan batin, persiapan materil, persiapan tertulis secara sistematis.[29]
Sedangkan menurut Nana Sudjana yang mengutip pendapat dari Peters mengemukakan tiga tugas yang harus dipenuhi oleh guru. Tiga tugas tersebut adalah:
1.      Guru sebagai pengajar.
2.      Guru sebagai pembimbing.
3.      Guru sebagai administrator kelas.[30]
B.     Problematika Guru Dalam Meningkatkan Profesionalisme
1.      Permasalahan dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru
Tinggi rendahnya pengakuan profesi guru, salah satunya diukur dari tingkat pendidikan yang ditempuhnya dalam mempersiapkan jabatannya. Sungguhpun demikian, masih harus dipertanyakan dan dibuktikan bahwa guru yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, lebih tinggi kemampuannya jika di bandingkan dengan guru yang berpendidikan lebih rendah. Dewasa ini pendidikan guru di Indonesia diupayakan terpadu sifatnya. Hal ini terlihat dengan adanya alih fungsi SPG dan SGO ke program LPTK dan D2 pada UT untuk mempersiapkan guru sekolah dasar dan FKIP-IKIP untuk mempersiapkan calon guru SMTP-SMTA
Suatu jenis pekerjaan tertentu dapat dilakukan oleh seseorang bila ia memiliki kemampuan. Bila dikaji lebih dalam lagi, kemampuan ternyata mempunyai arti cukup luas karena kemampuan bukan semata-mata menunjukkan kepada keterampilan dalam melakukan sesuatu. Lebih dari itu, kemampuan dapat diamati dengan menggunakan setidak-tidaknya empat macam petunjuk, yaitu:
1.      Ditunjang oleh latar belakang pengetahuan
2.      Adanya penampilan atau performance
3.      Kegiatan yang menggunakan prosedur dan tehnik yang jelas
4.      Adanya hasil yang dicapai
Kemampuan guru menggambarkan kemampuan yang dituntut dari seseorang yang memangku jabatan sebagai guru. Artinya, kemampuan yang ditampilkan itu menjadi ciri keprofesionalannya. Karena pada dasarnya pernyataan suatu kemampuan melukiskan gabungan keterampilan atau kecakapan khusus.
Tidak semua kemampuan yang dimiliki seseorang menunjukkan bahwa ia adalah professional. Ada berbagai variasi kemampuan yang dimiliki. Variasi itu menunjukkan tingkat jabatan yang didudukinya. Seseorang yang menduduki jabatan pada tingkat vokasional, tentu memiliki kemampuan dalam jabatannya. Namun, kemampuan yang dimilikinya berbeda dengan kemampuan seorang professional tidak hanya menunjukkan apa dan bagaimana melakukan pekerjaan semata-mata, tetapi juga menguasai rasional mengapa hal itu dilakukan berdasarkan konsep dan teori tertentu.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan guru tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kemampuan melaksanakan tugas. Guru sebagai tenaga professional sekurang-kurangnya dituntut untuk kemampuan dalam melaksanakan tugas pokok sebagai berikut:
1.      Meningkatkan kemampuan dan merencanakan proses pembelajaran.
2.      Meningkatkan kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, yaitu dengan mengubah cara belajar yang hanya terdiri dari aktifitas duduk, dengar, catat, dan hafalkan ke arah cara belajar anak didik aktif.
3.      Meningkatkan kemampuan menilai proses dan hasil mengajar.[31]
Kemampuan merencanakan, melaksanakan, dan menilai merupakan tiga jenis kegiatan yang saling berkaitan. Oleh karena itu tuntutan kemampuan yang harus dimiliki pun hendaknya secara lengkap meliputi ketiga jenis kemampuan tersebut.
Dalam mewujudkan kemampuan guru sebagaimana dijelaskan di atas, sering kali dihadapi berbagai masalah yang dapat menghambat perwujudannya. Menurut Mohamad Ali yang dikutip oleh Cece Wijaya meliputi beberapa aspek diantaranya kurangnya daya inovasi, lemahnya motivasi untuk meningkatkan kemampuan, ketidak pedulian terhadap berbagai perkembangan, kurangnya sarana dan prasarana.[32]  
a.       Kurangnya daya inovasi
Tidak sedikit para guru yang lebih senang melaksanakan tugas sebagaimana yang biasa dilakukannya dari waktu ke waktu. Keadaan semacam ini menunjukkan kecenderungan tingkah laku guru yang lebih mengarah kepada mempertahankan cara yang biasa dilakukan dalam melaksanakan tugas, atau ingin mempertahankan cara lama (konservatif) mengingat cara yang dipandang baru pada umumnya menuntut berbagai perubahan pola-pola kerja.
Suatu perubahan dalam mempertahankan ide atau konsep tentang cara belajar anak didik aktif menuntut adanya perubahan dalam pola kerja pelaksanaan tugas pendidikan. Agar pola kerja itu sesuai dengan tuntunan CBSA, perlu pula dimiliki berbagai kemampuan yang ditunjang oleh wawasan dan pengetahuan tentang hal itu. Guru-guru yang masih memiliki sifat konservatif memandang bahwa tuntutan semacam itu dengan kepentingan diri semata-mata, tanpa mempedulikan tuntutan yang sebenarnya dari hasil pelaksanaan tugas.
Para guru sepatutnya menyadari bahwa menduduki jabatan sebagai guru tidak semata-mata menuntut pelaksanaan tugas sebagaimana adanya, tetapi juga mempedulikan apa yang sebenarnya harus dicapai oleh pelaksanaan tugasnya. Dengan adanya kepedulian terhadap apa yang seharusnya dicapai dalam pelaksanaan tugasnya, dapat diharapkan tumbuh sikap inovatif, yakni kecenderungan untuk berupaya agar selalu meningkat.
Tumbuhnya sikap konservatif di kalangan guru diantaranya disebabkan oleh pandangan yang dimiliki oleh guru yang bersangkutan bahwa belajar berarti menyampaikan bahan pelajaran. Mereka cenderung mempertahankan cara mengajar dengan sekedar menyampaikan bahan. Sebaiknya, guru yang berpandangan bahwa mengajar adalah upaya memberi kemudahan belajar, selalu mempertanyakan apakah tugas mengajar yang dilaksanakan sudah berupaya memberi hasil belajar anak didik dengan tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Guru demikian biasanya selalu melihat hasil belajar anak didik sebagai tolak ukur keberhasilan dirinya dalam mengajar Hasil belajar anak didik dijadikan balikan untuk menilai keberhasilan dirinya dalam mengajar. Berdasarkan balikan itu selalu berupaya untuk melakukan perbaikan sehingga mutu keberhasilannya selalu meningkat.
b.      Lemahnya motivasi untuk meningkatkan kemampuan
Dorongan untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas professional sebagai guru sepatutnya muncul dari dalam diri sendiri. Dorongan itu bisa saja dirangsang dari luar.
Adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan melalui pemberian penghargaan kepada guru-guru teladan, pemberian tambahan insentif bagi guru yang menunjukkan dedikasi dan prestasi tinggi dapat dipandang sebagai upaya untuk mendorong gairah memperbaiki mutu pengajaran. Cara-cara semacam itu dapat dipandang sebagai alat untuk mendorong kreatifitas guru meskipun ada kecenderungan untuk bersifat sementara.
Adanya dorongan untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang muncul dari dalam diri sendiri lebih berarti dibandingkan dengan dorongan yang muncul dari luar dirinya. Dorongan semacam ini tidak bersifat sementara, dan menjadi prasyarat bagi tumbuhnya upaya untuk meningkatkan kemampuan. Bila dorongan itu ada, maka rintangan atau hambatan apapun, serta betapapun beratnya yang di hadapi, akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dorongan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan akan muncul bila kegiatan yang dilakukan dirasakan mempunyai nilai intrinsic atau berarti bagi dirinya sendiri. Hal ini mempunyai kaitan dengan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan jasmani, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa dimiliki, kebutuhan akan menghargai diri sendiri dan rasa dihargai oleh orang lain, kebutuhan untuk mewujudkan diri sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki. Tuntutan pemenuhan kebutuhan ini tumbuh secara bertahap, namun pada akhirnya merupakan kebutuhan yang terpadu. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan merupakan tenaga yang mendorong untuk bertingkah laku. Jadi, dorongan untuk meningkatkan kemampuan tersebut mempunyai dampak terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang dijelaskan di atas.
Lemahnya dorongan untuk meningkatkan kemampuan dapat menjadi penghambat untuk mewujudkan tuntutan kemampuan professional, khususnya kemampuan melaksanakan pembelajaran. Oleh karena itu, agar pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik oleh para guru, terlebih dahulu masalah tersebut perlu disingkirkan.
c.       Ketidak pedulian terhadap berbagai perkembangan
Sikap konservatif mempunyai kaitan dengan sikap tidak perduli dengan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam dunia pendidikan. Dewasa ini, telah banyak dicapai berbagai perkembangan dalam dunia pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu anak didik. Informasi mengenai hal itu banyak diperoleh dari berbagai bahan literature, teks majalah, jurnal, dan pemberitaan berbagai media massa. Setiap kemajuan atau perkembangan yang dicapai merupakan alternatif bagi guru untuk berupaya meningkatkan mutu pengajaran yang dilaksanakannya. Dari berbagai alternatif itu dapat dipilih alternatif mana yang digunakan.
Bagi guru yang menunjukkan kepedulian yang besar terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan yang dicapai dalam dunia pendidikan, mengikuti berbagai perkembangan tersebut merupakan kebutuhan untuk meningkatkan prestasi kerja. Di samping itu, guru yang bersangkutan menganggap bahwa hal semacam itu merupakan tambahan pengetahuan yang dapat memperkaya wawasannya. Dengan dibarengi motivasi yang tinggi serta sikap inovatif, berbagai informasi yang didapat tidak hanya memperkaya alternatif pilihan untuk melaksanakan tugas, tetapi juga menjadi dasar untuk membuat kreasi dari perpaduan berbagai alternatif, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan kerjanya. Ini berarti bahwa dia pun telah memberi sumbangan yang berarti bagi dunia pendidikan dan upaya meningkatkan mutu pendidikan.
d.      Kurangnya sarana dan prasarana pendukung
Setiap perubahan atau pembaharuan menuntut juga tersedianya sarana dan prasarana yang memadai untuk terlaksananya proses pembaharuan tersebut. Dukungan sarana dan prasarana tidak harus berupa berbagai alat yang canggih, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan yang bersifat minimal dan memungkinkan untuk diwujudkan.
Idealnya, sarana dan prasarana itu dapat diwujudkan oleh guru yang bersangkutan atau oleh lembaga (sekolah) yang hendak melakukan proses pembelajaran. Namun mengingat berbagai keadaan, berharap terlalu banyak dari guru, terutama hal-hal yang menyangkut penggunaan dana, hampir merupakan sesuatu yang kecil kemungkinannya.
Permasalahan yang berkaitan dengan saran dan prasarana untuk meningkatkan proses pembelajaran merupakan suatu bagian yang terpadu dari seluruh masalah yang disebutkan di atas. Betapapun lengkap dan canggihnya sarana yang tersedia, bila permasalahan yang menyangkut guru, seperti sikap konservatif, lemahnya inovasi dan ketidak pedulian terhadap perkembangan, itu belum tersingkirkan, ada kecenderungan pengadaan saran dan prasarana kurang bermanfaat untuk menunjang keberhasilan. Sebaiknya, bila masalah-masalah tadi dapat disingkirkan, namun kurang dukungan sarana dan prasarana perwujudannya dapat terhambat.
2.      Beberapa Upaya Pemecahannya
Setelah diketahui permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh guru dalam rangka meningkatkan profesionalismenya, maka harus diketahui pula cara-cara untuk memecahkan masalah tersebut. Berikut ini adalah beberapa upaya untuk memecahkan masalah tersebut, di antaranya menumbuhkan kreatifitas guru, penataran dan lokakarya, supervisi, dan pengajaran mikro.[33]
a.       Menumbuhkan kreatifitas guru
Berbagai ide tentang pembaharuan atau perubahan dalam praktek kependidikan ada yang dari atas, ada yang dari bawah. Dalam praktek kependidikan yang ada, pada umumnya perubahan-perubahan terjadi datang dan hilang. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah guru sebagai pelaksana di lapangan kurang memiliki kreatifitas untuk memperbaiki mutu hasil belajar anak didiknya. Padahal, ada kemungkinan para guru memiliki ide kreatif yang dapat menjadi sumbangan berharga bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Para guru dipandang sebagai orang yang paling mengetahui kondisi belajar, juga permasalahan belajar anak didiknya karena hampir setiap hari mereka berhadapan dengan anak didik mereka. Guru kreatif selalu mencari cara untuk bagaimana agar proses pembelajaran hasil sesuai dengan tujuan, dengan mengembangkan faktor situasi belajar anak didik. Kreatifitas yang demikian memungkinkan guru yang bersangkutan menemukan bentuk-bentuk mengajar yang sesuai, terutama dalam memberi bimbingan, rangsangan, dan arahan agar anak didik dapat belajar secara efektif.
Tumbuhnya kreatifitas di kalangan guru memungkinkan terwujudnya ide perubahan dan upaya peningkatan secara terus-menerus dan sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat di mana sekolah berada. Di samping itu, tuntutan untuk meningkatkan kemampuan pun muncul dari dalam diri sendiri, tanpa menunggu ide atau perintah dari atas.
Kreatifitas biasanya diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru, baik yang benar-benar baru sama sekali maupun yang merupakan inovasi atau perubahan dengan mengembangkan hal-hal yang sudah ada. Bila konsep ini dikaitkan dengan kreatifitas guru, guru yang bersangkutan mungkin menciptakan strategi mengajar yang benar-benar baru dan orisinil, atau dapat saja merupakan modifikasi dari berbagai strategi yang ada sehingga menghasilkan bentuk yang baru.
Kreatifitas secara umum dapat dipengaruhi kemunculannya oleh adanya berbagai kemampuan yang dimiliki, sikap dan minat yang positif dan tinggi terhadap bidang pekerjaan yang ditekuni, serta kecakapan melaksanakan tugas-tugas.
b.      Penataran dan Lokakarya
Pelaksanaan penataran dan lokakarya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dapat dilakukan oleh sekelompok guru yang mempunyai maksud yang sama. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengundang seseorang atau beberapa orang pakar sebagai nara sumber. Para pakar diminta memberi penjelasan, informasi dan dasar-dasar pengetahuan yang berkaitan dengan yang dilokakaryakan. Setelah peserta mengetahui pengetahuan dasar, selanjutnya di lakukan diskusi untuk mengembangkan wawasan dan disusul dengan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar. Pelatihan yang di lakukan meliputi penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan perencanaan penilaian hasil belajar yang berpedoman pada konsep-konsep dan prinsip yang telah ada.
Disamping ceramah, diskusi, pelatihan dapat dilakukan pula melalui karya wisata ke suatu tempat yang erat kaitannya dengan masalah yang dilokakaryakan. Untuk mengembangkan dan memperluas wawasan, dapat pula ditambah dengan cara belajar di perpustakaan. Bahan-bahan yang dipelajari sebaiknya disusun secara tertulis, baik dalam bentuk makalah biasa maupun dalam bentuk program, paket belajar, atau modul sehingga setiap peserta dapat belajar secara efektif.
Pelaksanaan pelatihan dalam lokakarya dapat memanfaatkan metode supervisi atau klinis pengajaran makro sebagaimana dijelaskan pada uraian berikutnya. Dengan demikian, para guru tidak hanya memperoleh bekal-bekal pengetahuannya, tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajarnya. Untuk mengetahui penambahan atau peningkatan pengetahuan pada akhir kegiatan dilakukan evaluasi atas kemampuan dan keterampilan hasil pelaksanaan lokakarya. Pelaksanaan evaluasi ini bersifat menilai diri sendiri dengan menggunakan panduan yang disusun oleh pakar yang diundang atau oleh panitia yang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Hasil evaluasi dapat dijadikan balikan, baik bagi peserta maupun bagi penyelenggara.
c.       Supervisi
Supervisi adalah suatu proses pembimbingan dari pihak atasan kepada guru-guru dan personalia sekolah lainnya yang langsung menangani belajar para anak didik, untuk memperbaiki situasi belajar agar para anak didik dapat belajar dengan efektif dengan prestasi belajar yang semakin meningkat.[34]
Adapun tujuan dari supervisi ini adalah untuk memperkembangkan situasi pembelajaran yang lebih baik. Usaha ke arah perbaikan pembelajaran ditujukan kepada pencapaian tujuan akhir dari pendidikan, yaitu pembentukan pribadi anak secara maksimal.[35]
Supervisi dilakukan dengan tujuan meningkatkan kemampuan dalam proses belajar-mengajar melalui upaya menganalisis berbagai bentuk tingkah laku pada saat melaksanakan program pembelajaran. Pelaksanaan supervisi dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang sama-sama ingin meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan proses pembelajaran. Mereka secara bergantian melakukan pengamatan terhadap berbagai tingkah laku masing-masing pada saat melaksanakan proses pembelajaran. Sebelum pelaksanaan pengamatan, terlebih dahulu dibicarakan bentuk-bentuk tingkah laku apa yang menjadi fokus pengamatan, dan secara bersama disusun panduannya. Berdasarkan panduan itu, dilakukan pengamatan untuk melihat di mana letak kelemahan-kelemahannya. Setelah masing-masing mengetahui kelemahan diri sendiri, hal itu dijadikan dasar upaya untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kemampuan.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam rangka supervisi ini, sebagaimana dijelaskan oleh Cece Wijaya, yaitu, langkah persiapan, langkah pelaksanaan pengamatan, pembahasan hasil pengamatan.[36]
1.      Langkah Persiapan
a.       Merundingkan dengan teman sekerja upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam proses pembelajaran.
b.      Merundingkan fokus didasarkan atas jenis kemampuan yang hendak ditingkatkan (contoh: bagaimana memberi penjelasan, bagaimana mengajukan pertanyaan, bagaimana membimbing diskusi, atau bagaimana membimbing anak didik melakukan penemuan)
c.       Merumuskan alat atau panduan untuk melakukan pengamatan terhadap bentuk-bentuk tingkah laku tertentu sesuai dengan fokus yang didasarkan atas tolok ukur tertentu.
d.      Merundingkan siapa yang lebih dulu melakukan pengamatan dan siapa kemudian sehingga, secara bergiliran, masing-masing melakukan pengamatan.
Juga harus diwaspadai terjadinya kesalahan-kesalahan dalam melakukan supervisi ini. Berikut contoh-contoh kesalahan dalam melakukan supervisi seperti yang dikutip dari Dersal oleh Made Pidarta diantaranya:
1.      Memperingatkan dengan suara yang keras di hadapan orang lain.
2.      Pilih kasih terhadap orang-orang tertentu dalam unit kerjanya.
3.      Kurang tahu mengenai seluk beluk pekerjaannya (supervisi)
4.      Instruksinya jelek, tidak umum atau tidak lengkap
5.      Batas waktu penyelesaian pekerjaan tidak ditentukan.
6.      Pegawai dijadikan kambing hitam walaupun kesalahan dibuat oleh supervisor
7.      Tidak mau mengakui kesalahan sendiri.
8.      Tidak mau membantu atau membela anak buahnya.
9.      Selalu mencari kesalahan yang dilakukan anak buahnya.
10.  Selalu mencampuri urusan orang lain, biasanya memberi nasehat soal-soal pribadi walaupun tidak diminta.
11.  Selalu mengawasi secara ketat dan memperhatikan segala sesuatu sampai sekecil-kecilnya yang dikerjakan bawahannya.
12.  Tidak bisa mendelegasikan wewenang yang diperlukan bawahan.
13.  Tidak mempercayai anak buah secara penuh
14.  Membicarakan atau menjelek-jelekan anak buah sendiri dengan orang-orang di dalam kelompoknya.[37]
Dengan mengetahui contoh-contoh kesalahan di atas, diharapkan dapat memberikan kesadaran pada supervisor yang kebetulan melakukan kesalahan-kesalahan yang sama dengan contoh itu, bahwa sebetulnya mereka telah melakukan sesuatu yang keliru. Kesadaran yang telah terbuka ini diharapkan memotivasi diri sendiri untuk meningkatkan profesi dengan cara membaca atau belajar tentang tehnik-tehnik supervisi yang baru.


2.      Pelaksanaan Pengamatan
a.       Dengan menggunakan panduan yang sudah disusun sebagai pegangan, dilakukan pengamatan secermat mungkin terhadap tingkah laku guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
b.      Membuat catatan singkat tentang segi-segi yang menyangkut tingkah laku guru dan reaksi anak didik selama proses pembelajaran berlangsung.
c.       Membuat ulasan mengenai hal-hal yang dipandang perlu diulas. Ulasan dicatat dalam lembaran lain di luar panduan pengamatan.
d.      Kepedulian pengamatan terbatas pada hal-hal yang menjadi fokus semata-mata.
3.      Pembahasan Hasil Pengamatan
a.       Pembahasan dimulai dengan mengemukakan segi-segi positif dari proses pembelajaran yang diamati.
b.      Menunjukkan beberapa kelemahan dari proses pembelajaran, kemudian membahas mengapa hal itu terjadi serta bagaimana kemungkinan menghindarinya sebagai dasar untuk pelatihan pada proses pembelajaran.
c.       Jika ternyata guru yang bersangkutan menemukan kesulitan dalam menampilkan segi-segi tingkah laku tertentu dalam proses pembelajaran, dapat dilakukan pelatihan terlebih dulu dalam menampilkan segi tersebut sebelum memulai pengajaran. Untuk memudahkan pelaksanaan, terlebih dulu dilakukan kajian tentang bentuk dan kemampuan mana yang terlebih dulu diupayakan untuk ditingkatkan sebagai secara bertahap tuntutan kemampuan minimal dalam proses pembelajaran dapat tercapai.
d.      Pengajaran Mikro
pengajaran mikro secara praktek untuk melatih kemampuan melaksanakan proses pembelajaran dapat dilaksanakan oleh sekelompok guru (biasanya antara lima dan sepuluh orang) di suatu sekolah. Karena praktek pelatihan ini bersifat khusus, pelaksanaannya dilakukan di luar kegiatan mengajar yang sebenarnya. Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan cara seorang guru bertindak sebagai pengajar, sedangkan guru yang lain menjadi anak didik yang melakukan proses pembelajaran. Kegiatan semacam ini merupakan suatu cara untuk bekerja sama meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan pembelajaran.
Ada beberapa ciri dari pengajaran mikro ini, di antaranya adalah:
1.       Pengajaran mikro merupakan praktek pengajaran yang sebenarnya, bukan simulasi mengajar yang bersifat pura-pura, dengan memanfaatkan teman sekerja sebagai anak didik.
2.       Sebagai pengajaran yang sebenarnya, dalam pengajaran mikro ada bahan pelajaran atau bentuk-bentuk pengalaman belajar, baik berupa pengetahuan maupun berupa keterampilan yang akan dicapai setelah proses pembelajaran serta apa yang seharusnya dilakukan oleh anak didik (teman sekerja yang menjadi anak didik) untuk memperoleh pengalaman belajar tersebut.
3.       Perbedaan antara pengajaran mikro dan pengajaran biasa adalah dalam pengajaran mikro, waktu yang digunakan cukup pendek (sekitar 20 menit), anak didiknya sedikit (sekitar 5 sampai 10 orang)
4.       Pelaksanaan pengajaran mikro terpusat dalam pelatihan bentuk-bentuk keterampilan tertentu yang hendak ditingkatkan kemampuannya.[38]
C.    Penelitian Sebelumnya
Sebelum Penulis melakukan penelitian ini, telah ada beberapa penelitian yang bersangkutan dengan penelitian yang penulis lakukan ini diantaranya:
1.      Peranan Pengawas Pendidikan Agama Islam Dalam meningkatkan Profesionalisme Guru PAI di Kecamatan Pungging Kab. Mojokerto oleh Nurhasan (IAIN Sunan Ampel 2005) yang hasilnya menyatakan bahwa keberadaan pengawas PAI berperan dalam peningkatan profesionalisme guru di Kecamatan Pungging Kab. Mojokerto
2.      Supervisi oleh Kepala Sekolah sebagai usaha peningkatan profesionalisme guru di MAN Galawak Kertosono Nganjuk oleh Nuraini (IAIN Sunan Ampel 2003) yang hasilnya Supervisi mempunyai peranan yang besar dalam peningkatan profesionalisme.
3.       Pengaruh latar belakang guru terhadap profesionalisme mengajar guru di MTs. Al-Khoziny Buduran Sidoarjo oleh Zainal (STAI Al-Khoziny 2004) yang hasilnya menyatakan terdapat pengaruh latar belakang pendidikan guru dengan terhadap profesionalisme guru di MTs. Al-Khoziny Buduran Sidoarjo.


[10]  Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bumi Aksara, (Jakarta: 1998) hal. 158
[11]  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa hal. 789
[12]  Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosda Karya, (Bandung : 1997) hal. 71
[13]  Athiyah Al-Abrosy, Dasar-dasar Pendidikan Islam, Bulan Bintang (Jakarta : 1993) hal 71
[14]  UUSPN No.20 Th. 2003, Media Centre, (Surabaya : 2005), hal. 12
[15]  Moh Uzer Usman, Op.cit, hal 6
[16]  Moh Uzer Usman, Op.cit,  hal. 15
UUSPN No.20 Th. 2003, Media Centre, (Surabaya : 2005), hal. 3
[18]  Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, Remaja Rosda Karya, (Bandung : 1997) hal. 139
[19]  Ahmad Tafsir, Op.cit, hal. 74
[20]  Amin Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Malang, (Malang : 1999) hal. 171
[21]  Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan  Kompetensi Guru, Usaha Nasional (Surabaya : 1994) hal. 33
[22]  Uzer Usman, Op.cit, hal. 14
[23]  Syaiful Bahri Djamarah, Op.cit, hal. 96
[24]  Syaiful Bahri Djamarah, Op.cit, hal. 71
[25]  Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo (Bandung : 1995), hal. 18
[26]  Roestiyah, Didaktik Metodik, Bumi Aksara (Surabaya : 1998) hal. 5
[27]  Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, (Jakarta : 1992) hal. 45
[28]  Moh Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algesindo (Jakarta : 2001) hal. 5
[29]  Abu Ahmadi, Didaktik-Metodik, Toha Putra, (Semarang : 1978) hal. 33
[30]  Nana Sudjana, Op.cit, hal. 15
[31]  Drs. Cece Wijaya  Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosda Karya (Bandung : 1998), hal. 185
[32]  Ibid
[33]  Cece Wijaya, Op.cit, hal. 189
[34]  Made Pidarta, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, Sarana Pers, (Jakarta : 1986), hal. 5
[35]  Piet Sahertian, Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan, Usaha Nasional, (Surabaya : 1990), hal. 23.
[36]  Cece Wijaya, Op.cit, hal. 191
[37]  Made Pidarta, Op.cit,  hal 227
[38]  Cece Wijaya, Op.cit,  hal 193

0 komentar:

Posting Komentar

 
Penanggung Jawab Miftah Budi Kurniawan | Supported by Cheat Game 4U